Tuesday, April 28, 2009

Kekerasan Dalam Kehamilan

Oleh :(Albertin Y. R. Nggelan, Amd.Keb.)
Penulis adalah anggota Ikatan Bidan Indonesia Provinsi NTT
Sumber: http://www.timorexpress.com/index.php?act=news&nid=30819

Setiap hari kita sering menyaksikan bahkan mengalami kekerasan yang dilakukan oleh orang-orang terdekat kita yang seharusnya mereka menyayangi kita sebagaimana mereka menyayangi diri mereka sendiri bahkan mungkin secara sadar ataupun tidak sadar kita sendiri adalah pelaku kekerasan terhadap mereka yang seharusnya kita lindungi dan kita sayangi.

Kekerasan dapat terjadi dimana- mana misalnya di dalam dalam rumah, di pasar, di lingkungan sekolah, di kantor, di jalan raya dan lain sebagainya demikian juga pelaku maupun korban bisa opa, oma, suami, istri, anak, cucu, teman baik dia laki- laki maupun perempuan. Jenis kekerasan juga berbeda dari kekerasan secara fisik, psikis, financial maupun seksual.

Beberapa minggu yang lalu terdapat tayangan di televisi yang memuat berita tentang perkelahian remaja putri di beberapa SMTA ternama di Kota Kupang, apakah ini pertanda dari lunturnya pendidikan budi pekerti yang selalu diajarkan oleh orang tua sebagai pendidik utama dan pertama di tingkat keluarga, tokoh agama dan tokoh masyarakat ketika mereka mulai bersosialisasi dengan masyarakat dilingkungan mereka, guru ketika mereka bersekolah?

Sangat disayangkan peristiwa tersebut sebab seharusnya remaja mengembangkan bakat- bakatnya secara terpuji melalui wadah yang telah tersedia yang dikemas dalam kegiatan ekstrakurikuler di sekolah ataupun di luar sekolah melalui karang taruna namun kenyataannya berbeda. Kita mengharapkan agar supaya peristiwa tersebut tidak terulang lagi di masa yang akan datang.

Wahai remaja jangan kotori masa mudamu dengan melakukan perbuatan tidak terpuji, contohnya melakukan kekerasan dengan teman sebayamu. Ingatlah bahwa harum dan tidaknya bangsa ini berada di pundak mu.

Kekerasan….sebuah kosa kata yang mengingatkan kita pada suatu situasi menyakitkan terkesan kasar dan tidak menyayangi yang berdampak negative terhadap sendi kehidupan seorang individu. Namun kebanyakan orang hanya memahami kekerasan sebagai suatu bentuk prilaku fisik yang kasar, keras dan penuh kekejaman sehingga bentuk prilaku Opresif/ menekan lainnya yang bukan prilaku fisik menjadi tidak diingat/ dipertimbangkan sebagai suatu bentuk kekerasan.

Kekerasan pada dasarnya adalah semua bentuk prilaku verbal maupun nonverbal yang menimbulkan penderitaan/ kesengsaraan fisik, psikis maupun social pada seorang individu maupun kelompok yang dilakukan oleh seseorang ataupun sekelompok orang (Hayati, 2002)
Menurut Deklarasi PBB (The United nations declaration on the Elimination of Violence Against Women, 1993) tentang penghapusan kekerasan terhadap perempuan, membagi ruang lingkup kekerasan menjadi tiga yaitu:1). Kekerasan dalam keluarga/ domestic violence, 2).

Kekerasan dalam masyarakat, 3). Kekerasan dalam Negara (DR.Siti Musdah Mulia, MA) dari tiga ruang lingkup kekerasan tersebut diatas yang sangat disayangkan adalah kekerasan dalam keluarga karena seharusnya keluarga mengembangkan fungsi- fungsi keluarga yaitu memberikan pengasuhan, pengasahan dengan penuh kasih sayang (asuh, asah, asih) bukan sebaliknya.

Menindak lanjuti deklarasi tersebut diatas maka pada tahun 2000, Indonesia telah mengamandemenkan UUD 1945 yang memasukan hak individu untuk hidup dan berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya (BAB XA pasal 28A), hak untuk memperoleh jaminan perlindungan dan kepastian hukum (pasal 28D), hak untuk memperoleh rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan dan berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan martabat manusia (pasal 28G), hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan termasuk didalamnya hak reproduksi (pasal 28H), setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapat perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu (pasal 28 I). Minimnya pengetahuan ibu hamil terhadap hak reproduksinya menjadi salah satu penyebab tingginya Angka Kematian Ibu dan Bayi di Indonesia.

Menurut SKRT tahun 2001 Angka kematian ibu/ AKI di Indonesia adalah 307/ 100.000 kelahiran hidup dan angka kematian bayi/ AKB adalah 35/ 1 000 kelahiran hidup (SDKI, 2002-2003) sedangkan di Nusa Tenggara Timur AKI sebesar 554/ 100 000 kelahiran hidup dan AKB 53/ 1 000 kelahiran hidup (Dinkes Prov NTT, 2002), tidak bisa dibayangkan betapa banyaknya kematian maternitas (ibu hamil, ibu melahirkan dan ibu nifas) yang terjadi namun masyarakat tidak melihat bahwa masalah tersebut sebagai suatu malapetaka, hal ini menandakan bahwa masih rendahnya kwalitas pelayanan kesehatan dan tidak maksimalnya ibu hamil dalam mengaktualisasikan haknya seperti yang telah diuraikan diatas karena itu harus menjadi perhatian semua pihak dalam rangka memerangi masalah tersebut.

Banyak factor yang menyebabkan tingginya AKI dan AKB di Indonesia. Menurut Depkes RI tahun 2007: Factor- factor yang digolongkan dalam penyebab langsung/ immediate factors antara lain: perdarahan (42%), eklampsi (13%), komplikasi abortus (11%), infeksi (10%),partus lama (9%), disamping itu kurangnya petugas kesehatan dan sarana pertolongan persalinan yang professional baik kwantitas dan kwalitasnya menyebabkan rendahnya cakupan pemeriksaan kehamilan yang berkwalitas dan masih rendahya pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan.

Pertolongan persalinan oleh dukun masih sekitar (30%), persalinan yang terjadi di rumah adalah sekitar 70% sehingga bila terjadi komplikasi yang memerlukan rujukan maka membutuhkan waktu yang lama untuk sampai ke fasilitas pelayanan kesehatan.

Factor- factor yang tergolong dalam penyebab tidak langsung/ Underiying factors antara lain: tingginya angka ibu hamil dengan anemia ± 50 %, ibu hamil dengan kekurangan energy kronik ± 30 %, prevalensi ibu hamil dengan penyakit infeksi seperti: malaria, TBC, diare dan ISPA masih tinggi hal ini sangat memperberat kondisi ibu hamil, selain itu sekitar 65 % ibu hamil dengan kehamilan 4 Terlalu (terlalu muda/ usia kurang 20 tahun, terlalu tua/ usia lebih dari 35 tahun, terlalu sering/ jarak anak kurang dari 2 tahun, terlalu banyak/ jumlah anak lebih dari 4 orang)….(Depkes RI, 2007)

Factor- factor yang tergolong dalam penyebab mendasar/ basic factors antara lain: rendahnya pendidikan, pengetahuan, sikap ibu yang berkaitan dengan kesehatan kehamilan dan persalinan khususnya tentang kelompok risiko tinggi hal ini sering menyebabkan terlambat dalam mengambil keputusan ditingkat keluarga, terlambat dalam transportasi untuk mencapai fasilitas pelayanan kesehatan dan terlambat dalam menerima pertolongan yang cepat dan tepat di fasilitas kesehatan (3 Terlambat), budaya patriakhal , selain itu rendahnya tingkat pendapatan ekonomi keluarga dan masih banyak praktek local yang sangat merugikan ibu seperti pantang makan makanan tertentu (ikan, telur, cumi-cumi, udang, kepiting) yang sebenarnya sangat dibutuhkan oleh tubuh untuk proses pertumbuhan dan perkembangan janin dalam kandungan ibu dan untuk proses metabolisme ibu serta sebagai cadangan energi untuk proses persalinan dan laktasi kelak Kebiasaan panggang setelah melahirkan dengan alasan menghangatkan ibu pada kenyataannya mengakhibatkan tingginya kasus ISPA/ infeksi saluran pernapasan acut dengan angka kejadiannya 38,61 % (Dinkes Prov NTT, 2002), hal ini memberi kontribusi yang bermakna terhadap tingginya AKI dan AKB.

Menurut data yang diperoleh dari Rumah Perempuan NTT selama pendampingannya terhadap perempuan korban kekerasan pada tahun 2008 tercatat kasus KDRT/ kekerasan dalam rumah tangga sebanyak 78 kasus angka ini sedikit bila dibanding tahun 2007 tercatat kasus KDRT sebanyak 95 kasus.

Kejadian kekerasan digambarkan seperti gunung es yaitu data yang tercatat sedikit dibanding peristiwa yang terjadi. Biasanya perempuan yang menjadi korban kekerasan enggan untuk melapor kepada pihak yang berwajib karena dianggap sebagai rahasia keluarga padahal justru anggapan ini membuat sulitnya mencarikan cara penyelesaian masalah dan terkesan membiarkan pelaku bebas yang mungkin akan ada korban baru lagi.

Kekerasan dalam kehamilan sering terjadi baik itu secara fisik, psikis, financial/ pembatasan ekonomi dan seksual yang menimbulkan nyeri dan kerusakan yang berdampak lama setelah kejadian tersebut. Kehamilan adalah suatu krisis yang mematangkan dan dapat menimbulkan stress tetapi imbalannya adalah wanita tersebut siap menghadapi fase baru untuk bertanggung jawab terhadap individu yang ada dalam rahimnya dan setelah melahirkan akan menyasuhnya.

Konsep dirinya juga berubah siap menjadi orang tua dan tugas social yang bakal diembannya. Secara sederhana ia berubah dari memperhatikan dirinya menjadi seorang yang bertanggungjawab terhadap kelangsungan hidup seorang individu baru baik dalam pertumbuhan maupun dalam perkembangannya.

Hal ini membutuhkan tugas perkembangan yang pasti dan tuntas meliputi menerima kehamilan, mengidentifikasi peran sebagai ibu, membangun hubungan yang baik dengan: suami, orang tua, petugas kesehatan, janin yang ada dalam kandungannya dan menyiapkan kelahiran janinnya kelak (Wayland & Tate, 1993; Zachariah, 1994). Dukungan suami secara emosional dan komunikasi efektif antara anggota keluarga adalah factor yang sangat penting untuk suksesnya tugas perkembangan pada masa ini (Mercer, 1995).

Kekerasan pada ibu hamil dapat berdampak langsung maupun tidak langsung pada ibu dan janinnya. Akhibat langsung yang berdampak pada ibu adalah luka, kecacatan fisik ibu, perdarahan, syoch, meninggal dunia. Sedangkan akhibat tidak langsung pada ibu adalah: infeksi, infertilitas/ kemandulan, meningkatnya kecemasan, depresi, kondisi ibu menjadi lebih buruk (anemia ringan menjadi anemia berat, tidak ada peningkatan berat badan bahkan berat badannya menurun, dll) mungkin ibu menjadi perokok, peminum alcohol, pengguna obat- obat terlarang, tidak ada akses terhadap pelayanan kebidanan, adanya keinginan untuk mengakhiri kehidupan janin/aborsi dan mengakhiri kehidupan dirinya/ bunuh diri.

Dampak pada janin adalah dapat terjadi abortus/ keguguran, abratio placenta/ ari- ari terlepas dari rahim sebelum persalinan, persalinan prematur, janin mengalami kecacatan, kematian janin dalam kandungan. (Harlap & Shiono, 1980) Dampak kejiwaan lain yang mungkin dialami oleh ibu hamil adalah trauma atau luka jiwa yang disebabkan oleh karena ia mengalami suatu kejadian yang sangat menyakitkan.

Bila seorang perempuan menjadi korban kekerasan, kemudian ia mengalami gejala- gejala yang khas seperti mimpi- mimpi buruk (nighmares), ingatan- ingatan akan kejadian yang muncul secara tiba- tiba (flash back), dan gejala tersebut berkepanjangan hingga lebih dari sekitar 30 hari, besar kemungkinan korban mengalami dampak psikologis yang biasa disebut” dialetika trauma” atau gejala stress pasca trauma seperti:1).

Hyper arousal gejala ini sangat dipengaruhi oleh kerja hormonal tubuh yang ikut berubah sehubungan dengan perubahan kondisi psikologis korban. Gejala yang paling umum adalah: agresif, insomnia/ sulit tidur, reaksi emosional yang intens, seperti depresi yang menyebabkan korban ingin bunuh diri. Gejala ini merupakan indikasi dari adanya persistent continuing expectation of danger atau perasaan seolah- olah kejadian yang buruk itu akan terus terjadi.

2). Intrusion merupakan constant reliving of the traumatic event atau korban sungguh- sungguh tidak mampu mengontrol pemunculan ingatan- ingatan akan peristiwa yang menyakitkan itu. Gejala ini biasanya berupa nighmares/ mimpi buruk dan flash back/ ingatan- ingatan yang berulang, seperti sebuah kilas balik. Sehinggga dapat dikatakan sebagai kekacauan ingatan. 3). Numbing atau dalam istilah kita mati rasa gejala ini pada dasarnya adalah wajar, tetapi menjadi tidak wajar jika terjadi terus- menerus sehingga orang menjadi indifferent/ acuh tak acuh dan detached/ terpisah dari interaksi social.

Perempuan adalah kelompok yang rawan dalam kesehatan reproduksi dan perempuan juga adalah bagian dari masyarakat yang belum memahami secara benar bahwa kesehatan adalah investasi untuk peningkatan kwalitas hidup manusia dengan demikian diharapkan kepada para calon legislative peka terhadap permasalahan perempuan dengan cara menjadikan permasalahan ini sebagai isu sentral dalam kampanye dan tentunya bila kelak menjadi anggota legislative akan memasukan dan memperjuangkan isu tersebut sebagai agenda penting dalam aktifitas legislativenya melalui kegiatan sosialisasi dan advokasi kepada para pengambil kebijakan dan pemangku kepentingan/ stakeholders di berbagai jenjang administrasi. Tuhan Yang Maha Pengasih Dan Maha Penyayang menyertai kita dalam setiap karya dan karsa kita sebagai anak bangsa.

Gizi Buruk tak Selalu Tersebab Miskin

Oleh: Bartoven Vivit Irsan (Staf Pengajar Sosiologi FISIP Unila)
Sumber : http://www.lampungpost.com/cetak/cetak.php?id=2006040601312716

Lampung, salah satu provinsi yang memiliki angka gizi buruk tertinggi. Angka kematian karena gizi buruk terus meningkat di Lampung. Yang tertinggi Lampung Timur, Tanggamus, dan Bandar Lampung sendiri. Kematian wanita hamil di Lampung juga meningkat sampai 70%.
Berdasarkan penelitian, para penderita gizi buruk bukan hanya dari masyarakat yang berasal dari kalangan menengah ke bawah atau miskin, tetapi juga dialami masyarakat mampu atau menengah ke atas. Temuan ini mengejutkan. Asumsi kita selama ini gizi buruk identik dengan masyarakat yang tidak punya uang, kelaparan dan minim pengetahuan.
Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa begitu sulit untuk diberantas?
Mungkin, ada yang kita lupakan, yakni program penanggulangan kasus gizi buruk selama ini meminggirkan aspek sosial budaya masyarakat. Program selama hanya memprioritaskan semuanya dari pandangan dan pendekatan kesehatan secara fisik semata. Padahal, masyarakat Lampung yang multietnik dengan berbagai latar kebudayaan perlu mendapat perhatian.
Persoalan makanan bukanlah persoalan tentang kandungan gizi secara medis saja, melainkan persoalan kebudayaan, yakni kepercayaan tentang makanan dan kebiasaan makanan (food habit). Kepercayaan makanan dan kebiasaan makanan bukanlah sesuatu yang mudah diubah.
Sebab, kepercayaan makanan--saya lebih suka menyebutnya dengan "ideologi makanan"--merupakan inti kebudayaan yang sulit untuk berubah (Linton, 1979).
Meskipun masyarakat kota, modern, dan memiliki pengetahuan yang cukup melalui pendidikan, ada aspek-aspek tertentu yang membuat kita tidak bisa lepas dari akar budaya. Makanan berkaitan lingkungan tempat kita tumbuh dari sejak kecil, makanan bersumber dari rumah tangga saat sumber dapur kita berfungsi, dan itu menjadi kebiasaan yang sulit diubah.
Kepercayaan makanan merupakan perilaku yang dibatasi budaya yang merupakan suatu kompleks kegiatan masak-memasak, masalah kesukaan dan ketidaksukaan, kearifan rakyat, kepercayaan-kepercayaan, kebiasaan makan, pantangan-pantangan, takhayul, selera, kenikmatan, dan prioritas makanan yang berkaitan dengan persiapan, produksi, distribusi, dan konsumsi makanan.
Boleh jadi suatu makanan itu dimakan masyarakat bukan karena alasan nutrisi (nutriens) atau zat gizi yang dikandung, tetapi karena selera, kenikmatan, kepercayaan, kebiasaan, pantangan-pantangan, dan sebagainya.
Banyak fungsi sosial budaya makanan bagi masyarakat kita. Bukan sekadar kenyang, melainkan memiliki makna simbolik yang menunjukkan status sosial. Pada pesta perkawinan, makanan adalah menjadi ukuran status sosial seseorang.
Dalam masyarakat multietnik Lampung, makanan memiliki makna bagi tiap masyarakat dan kebudayaan masing-masing. Orang Jawa misalnya menggunakan konsep "nyayur" untuk makanan karena mereka suka sayuran, orang Padang dengan konsep "lauk" karena identik dengan daging-dagingan karena orang Padang belum makan kalau belum makan lauk, orang Lampung suka "nyeruit" karena semangat kebersamaan dalam memakan makanan itu. Semuanya itu merupakan bangunan konsep makanan yang dimiliki setiap kebudayaan yang memiliki makna tersendiri.
Kita harus menyadari struktur sosial dalam keluarga sangat menentukan status gizi laki-laki dan perempuan berdasarkan status dan perannya. Distribusi makanan dalam rumah tangga berkaitan prioritas makanan.
Prioritas makanan menempatkan organisasi sosial (struktur distribusi makanan dalam rumah tangga) menjadi hal yang utama. Distribusi makanan dilihat dari status dan peran (struktur sosial) individu tersebut dalam rumah tangga.
Dalam hal ini menempatkan laki-laki menjadi prioritas utama untuk mendapatkan banyak protein dan kalori. Prioritas makanan dalam masyarakat tertentu membedakan pemberian makanan terhadap laki-laki dan perempuan (Nieves, 1993; Gittelson, 1991; Engle, 1993).
Hal ini menggambarkan kasus gizi buruk ini dipengaruhi kebudayaan atau kebiasaan setempat, apalagi hampir mayoritas masyarakat Indonesia memegang prinsip budaya patriarkat, contohnya prioritas makanan kepada laki-laki dewasa (dalam rumah tangga) dibandingkan dengan wanita dan anak-anak.
Sayang, masalah kasus gizi buruk pada ibu hamil hanya tertumpu pada wanita hamil. Padahal, laki-laki juga ikut bertanggung jawab terhadap kondisi tersebut. Pemerintah, misalnya, tidak melibatkan laki-laki dalam pelatihan dan penyuluhan kesehatan ibu hamil.
Seharusnya, pemerintah melibatkan kaum laki-laki untuk diberikan pemahaman serupa. Padahal proses konsumsi, distribusi, dan produksi makanan di dalam rumah tangga dipengaruhi struktur sosial dalam rumah tangga.
Misalnya, saja setelah diberikan penyuluhan bagi ibu-ibu hamil tentang makanan bergizi, lalu apakah dengan mudah ia merealisasikan di rumah? Soalnya, di rumah tangga ada anggota keluarga lain yang berperan dalam menentukan pilihan dan mengambil keputusan, yaitu sang pencari nafkah. Hal ini tentu akan diperparah lagi kalau keluarga itu berasal dari keluarga yang miskin.
Memberikan penyuluhan dan makanan tambahan mungkin sebuah usaha. Namun, alangkah lebih baiknya juga memperhatikan apa yang dimiliki masyarakat, yakni kearifan lokal yang begitu kuat di masyarakat kita. Barangkali mengakomodasi kearifan lokal dan makanan secara medis adalah jalan terbaik.
Selain itu usaha untuk mencegah gizi buruk tidak harus menunggu berhasilnya pembangunan ekonomi sampai masalah kemiskinan dituntaskan. Program perbaikan gizi dapat dilakukan tanpa harus menunggu rakyat menjadi makmur. Perhatian pada golongan yang berisiko kekurangan asupan zat gizi akan membantu mengurai sulitnya masalah ini.

Gizi Buruk merupakan Implementasi Ke”pasif ”an

Oleh: DR. Intje Picauly, S.Pi, M.Si
Sumber : http://www.timorexpress.com/index.php?act=news&nid=24089


Faktor ekonomi sering dituding menjadi penyebab maraknya kasus gizi buruk. Padahal gizi buruk adalah masalah yang bukan hanya disebabkan oleh kemiskinan. Masalah ini kompleks,Kesehatan merupakan investasi untuk mendukung proses pembangunan ekonomi serta memiliki peran penting dalam upaya penanggulangan kemiskinan. Di suatu kelompok masyarakat, anak balita merupakan kelompok yang paling rawan terhadap terjadinya perubahan status kesehatan sebagai akibat dari kekurangan gizi.

Anak yang kurang gizi akan menurun daya tahan tubuhnya, sehingga mudah terkena penyakit infeksi, sebaliknya anak yang menderita penyakit infeksi akan mengalami gangguan nafsu makan dan penyerapan zat-zat gizi sehingga menyebabkan kurang gizi.

Anak yang sering terkena infeksi dan gizi kurang akan mengalami gangguan tumbuh kembang yang akan mempengaruhi tingkat kesehatan, kecerdasan dan produktivitas di masa dewasa. Status gizi buruk adalah bentuk terparah dari proses terjadinya kekurangan gizi.

Berita tentang kasus gizi buruk pada berbagai media menunjukkan bahwa masalah tersebut kembali menyeruak hampir di seluruh provinsi termasuk di ibukota negara, Jakarta. Memang, program perbaikan gizi di Indonesia secara nasional telah dilaksanakan sejak tiga puluh (30) tahun yang lalu. Tetapi upaya ini ternyata belum mampu menanggulangi masalah gizi buruk. Bahkan, masih saja setiap hari kita mendengar pemberitaan mengenai kasus gizi buruk di media massa.

Hal menarik disampaikan oleh Prof. Soekirman, guru besar ilmu Gizi-IPB, dalam salah satu media cetak nasional (09/06/2005) bahwa berbagai program dan proyek telah digelar pemerintah dengan anggaran ratusan miliar rupiah bahkan mungkin triliun dengan berbagai nama menarik, diantaranya program Jaring Pengaman Sosial (JPS), Dana Kompensasi BBM, Bantuan Pangan Raskin (untuk keluarga), dan Makanan Tambahan Balita Kurang Gizi (MPASI) meskipun belum ada bukti efektif tidaknya program dan proyek tersebut karena hal tersebut hanya intervensi sementara atau darurat.

Sedangkan masalah utamanya menurut Prof Mubaryarto adalah masih banyaknya warga masyarakat yang tidak diberdayakan.
Secara global, Suara Pembaruan (29/3/2006) menunjukkan fakta bahwa tingkat prevalensi kekurangan gizi di Indonesia cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Tahun 2003 tercatat ada 17,7 persen, tahun 2004 ada 17,8 persen dan tahun 2005 ada 19,5 persen.

Memang menyedihkan, sebab masalah gizi buruk termasuk busung lapar semestinya dapat dicegah. Propinsi NTT khususnya mempunyai jumlah kasus gizi buruk dari bulan Januari 2005 sampai Desember 2005 sebanyak 13.969 dari jumlah balita di NTT 477.829 anak.

Hasil assessment gizi yang dilakukan Depkes bekerja sama dengan SEAMEO dan WFP bulan Juli-September 2005 menunjukan prevalensi gizi buruk di Propinsi NTT : 13,8%, Sumba Timur : 13,2%, TTS: 18,0%, Kota Kupang : 14,9%, Ende : 8,7 % dan Flores Timur : 8,2%.
Dari 13.969 balita gizi buruk yang ditangani, sebanyak 12.792 balita dilakukan rawat jalan dan pemberian makanan tambahan dan 1.165 balita dirawat di berbagai tempat yaitu Therapeutic Feeding Center (TFC), Puskesmas dan RSUD. Jumlah balita yang dirawat sebanyak 706 balita telah membaik, yang lainnya masih dalam perawatan.

Sedangkan jumlah pasien gizi buruk yang meninggal dunia dari bulan Januari sampai Desember 2005 sebesar 58 balita. Sungguh suatu kenyataan yang sangat menyedihkan, jika kita teringat pada jumlah dana yang telah dialokasikan tidaklah seimbangan dengan harapan yang kita inginkan. Hal ini terlihat pada jumlah pasien yang dapat dipulihkan baru sekitar 10% dari jumlah kasus yang ada (13.969 balita gizi buruk).

Laporan Penanggulangan Masalah Gizi Buruk di Indonesia periode Tahun 2005-2006 menyebutkan bahwa jumlah Dana Dekonsentrasi yang diberikan dari pihak Pemerintah Pusat ke Propinsi NTT sebanyak 76 miliar dan difokuskan hanya untuk perbaikan gizi masyarakat belum mencakup jenis bantuan lainnya.

Namun data dari salah satu media informasi menyatakan bahwa sampai Juni 2008 tercatat korban gizi buruk di NTT kembali merenggut 23 nyawa balita. Selain itu, sekitar 225 kasus gizi buruk diikuti dengan kasus gizi kurang sebesar 1.388 di wilayah Rote Ndao. Bahkan diketahui sekitar 533 balita yang menderita gizi kurang dan gizi buruk sama sekali belum mendapat penanganan apapun.

Sedangkan sampai awal Juni di Kabupaten Ende ditemukan 18 balita menderita gizi buruk
Faktor ekonomi sering dituding menjadi penyebab maraknya kasus gizi buruk. Padahal gizi buruk adalah masalah yang bukan hanya disebabkan oleh kemiskinan. Masalah ini kompleks, tidak hanya dari segi ekonomi atau pun kesehatan saja tetapi dari aspek sosial dan budaya.

Konon di Sambas, 50% balita yang mengidap gizi buruk bukan disebabkan karena kemiskinan melainkan karena budaya makan. Kebanyakan ibu-ibu yang baru melahirkan mengkonsumsin nasi dan ikan kering tetapi tidak sayur karena sayur berkorelasi dengan kemiskinan.

Hal tersebut menunjang hasil surveilans di NTT yang menunjukkan bahwa faktor risiko penyebab gizi buruk adalah faktor sosial budaya dan ketidaktahuan, masalah tidak cukupnya persediaan pangan di rumah tangga, pola asuh kurang memadai, dan sanitasi/kesehatan lingkungan kurang baik serta sangat terkait juga dengan rendahnya tingkat pendidikan, pendapatan dan kemiskinan keluarga, masih tingginya penyakit infeksi, dan lebih diperberat lagi dengan adanya terjadinya kekeringan yang panjang.

Di tengah persoalan ini, kita sadar bahwa masalah gizi buruk bukan semata-mata tanggung jawab Dinas Kesehatan karena sebab masalah ini multi faktor dengan pokok masalah di masyarakat adalah kurangnya pemberdayaan keluarga dan masyarakat serta kurang pemanfaatan sumber daya yang ada di masyarakat.

Salah satu sasaran prioritas yang dipilih dalam strategi utama menggerakkan dan memberdayakan masyarakat untuk hidup sehat adalah menjadikan seluruh keluarga sadar gizi (kadarzi) dan seluruh desa menjadi Desa Siaga. Kadarzi adalah suatu keluarga yang mampu mengenal, mencegah dan mengatasi masalah gizi setiap anggotanya.

Suatu keluarga disebut Kadarzi apabila telah berperilaku gizi yang baik yang dicirikan minimal dengan: 1) menimbang berat badan secara teratur, 2) memberikan Air Susu Ibu (ASI) saja kepada bayi sejak lahir sampai umur 6 bulan (ASI eksklusif), 3) makan beraneka ragam, 4) menggunakan garam beryodium, 5) minum suplemen gizi (Tablet Tambah Darah/TTD, Kapsul Vitamin A dosis tinggi) sesuai anjuran.

Desa Siaga merupakan desa dengan kesiapan sumber daya dan kemampuan untuk mencegah dan mengatasi masalah kesehatan khususnya masalah gizi secara mandiri sehingga tercapai masyarakat yang sehat, peduli dan tanggap.

Persyaratan minimal desa siaga adalah adanya Pos Kesehatan Desa (Poskesdes) sebagai suatu upaya kesehatan bersumber daya masyarakat (UKBM) yang dibentuk di desa/kelurahan meliputi pelayanan pencegahan (preventif), promotif (peningkatan) dan kuratif (pengobatan), sekaligus menjadi koordinator UKBM yang telah ada seperti posyandu, polindes, dana sehat, ambulan desa, tabungan ibu bersalin/tabulin dan lain-lain.

Dengan demikian terlihat bahwa proses penanggulangan gizi buruk merupakan tanggung jawab bersama yang melibatkan masyarakat dan banyak sektor yang terkait dalam pelayanan kesehatan, pendidikan, ekonomi, sosial, budaya, pemberdayaan perempuan dan PKK maupun pertanian yang menyangkut ketersediaan pangan rumah tangga.

Penulis : Pemerhati Gizi NTT

PEDOMAN UMUM REVITALISASI POSYANDU

PEDOMAN UMUM

REVITALISASI POSYANDU

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

1. Bahwa gangguan gizi pada anak dibawah usia dua tahun pada umumnya secara kuantitas tidak pernah berkurang. Demikian pula halnya yang terjadi di Indonesia selama ini, yang cenderung naik tingkat kerawanannya akibat krisis ekonomi tahun 1997 yang dikhawatirkan dapat mengancam kualitas SDM generasi penerus. Sesungguhnya kita memiliki tehnologi untuk mengatasinya, yakni bila Posyandu dapat melaksanakan fungsi dasarnya sebagai unit pemantau tumbuh kembang anak, serta menyampaikan pesan kepada ibu sebagai agen pembaharuan dan anggota keluarga yang memiliki bayi dan balita dengan mengupayakan bagaimana memelihara anak secara baik, yang mendukung tumbuh kembang anak sesuai potensinya.

2. Hikmah yang bisa dipetik saat terjadi krisis ekonomi, bahwa pemerintah telah mengambil langkah yang dinilai tepat oleh banyak pihak termasuk para donor, yakni dengan melaksanakan revitalisasi Posyandu, yang harapannya adalah agar Posyandu dapat berfungsi secara optimal untuk menyelamatkan dan meningkatkan status gizi maupun derajat kesehatan anak dan ibu sebagai upaya mencegah terjadinya hilangnya generasi penerus.

3. Pemeliharaan dan perawatan kesejahteraan ibu dan anak-anak sejak usia dini, merupakan suatu strategi dalam upaya pemenuhan pelayanan dasar yang meliputi peningkatan derajat kesehatan dan gizi yang baik, lingkungan yang sehat dan aman, pengembangan psikososial/emosi, kemampuan berbahasa dan pengembangan kemampuan kognitif (daya pikir dan daya cipta) serta perlindungan anak terhadap penabaian. Pengalaman empirik dibeberapa tempat menunjukan, bahwa strategi pelayanan kesehatan dasar masyarakat dengan fokus pada ibu dan anak seperti itu, dapat dilakukan pada Posyandu. Karena Posyandu merupakan wadah peranserta masyarakat untuk menyampaikan dan memperoleh pelayanan kesehatan dasarnya, maka diharapkan pula strategi operasional pemeliharaan dan perawatan kesejahteraan ibu dan anak secara dini, dapat dilakukan di setiap posyandu.

4. Kesepakatan melakukan Revitalisasi Posyandu sebagai tanggap darurat atas krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia, merupakan piakan dalam membangun SDM dini. Pengalaman selama ini membuktikan bahwa bila penyelenggaraan Posyandu baik, maka upaya untuk pemenuhan kebutuhan dasar pengembangan anak akan baik pula, seperti tercapainya cakupan imunisasi yang cukup tinggi pada tahun-tahun sebelum kritis dan adanya peningkatan umur harapan hidup. Sebaliknya bila kinerja Posyandu tidak baik, seperti dalam memantau pertumbuhan anak, maka status gizi anak perkebangannya dapat terganggu.

5. Kurang berfungsinya Posyandu sehingga kinerjanya menjadi rendah, antara lain disebabkan karena rendahnya kemampuan kader dan pembinaan dari unsur Pemerintah Desa dan dinas/instansi/lembaga terkait, yang kemudian mengakibatkan rendahnya minat masyarakat untuk menggunakan Posyandu. Akibat lebih lanjut adalah banyak hal yang sesungguhnya dapat bermanfat bagi ibu-ibu untuk memahami cara memelihara anak secara baik sejak dalam kandungan, kemudian meningkatkan keselamatan ibu saat melahirkan secara mudah dan terjangkau, menjadi tidak dapat dilaksanakan. Oleh karena itu, perlu diupayakan langkah dalam memberdayakan kadar agar lebih professional dalam memantau tumbuh kembang anak, serta membangun kemitraan masyarakat untuk meningkatkan dukungan dan memanfatkan Posyandu secara optimal. Upaya tersebut telah diawali melalui berbagai kegiatan seperti sosialisasi, pelatihan dan Lokakarya Revitalisasi Posyandu sepanjang tahun 1999-2000.

6. Perubahan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang ditengarai oleh reformasi, memerlukan peneyesuain-penyesuaian dalam melaksanakan Revitalisasi Posyandu. Hal ini disebabkan karena berubahnya sistem pemerintahan di daerah, sistem bermasyarakat di tingkat Desa/Kelurahan, sistem berorganisasi dalam pelaksanaan demokratisasi dan berpartisipasi dalam penetapan kebijakan, serta tanggung jawab dalam pelaksanaannya, yang secara keseluruhan harus tetap dapat mendukung berkembangnya sistem penyelenggaraan pelayanan terpadu (Posyandu) untuk pemenuhan kebutuhan dasar pengembangan kualits manusia dini berbasis masyarakat.

7. Peran Posyandu sebagai salah satu sistem penyelenggaraan pelayanan kebutuhan kesehatan dasar dalam rangka peningkatan kualitas sumberdaya manusia, memang sudah diakui keberadaannya. Agar Posyandu dapat melaksanakan fungsi dasarnya, maka perlu upaya Revitalisasi terhadap fungsi dan kinerja Posyandu yang telah dilaksanakan sejak krisis ekonomi timbul. Namun diakui pula, bahwa meskipun sejak tahun 1999 telah diprogramkan upaya Revitalisasi Posyandu di seluruh Indonesia, tetapi fungsi dan kinerja Posyandu secara umum masih belum menunjukkan hasil yang optimal. Oleh karena itu pula, upaya Revitalisasi posyandu perlu terus ditingkatkan dan dilanjutkan agar mampu memenuhi kebutuhan pelayanan terhadap kelompok sasaran yang rentan.

8. Mengingat begitu pentingnya peran Posyandu sebagai wahana pelayanan dari berbagai program, maka peneyelenggaraan kegiatan Revitalisasi Posyandu perlu menyertakan aspek pemberdayaan masyarakat secara konsisten. Hal ini menuntut konsekuensi, bahwa aspek pemberdayaan masyarakat menjadi tumpuan uapaya Reviatalisasi Posyandu, yang dalam pelaksanaannya perlu tetap memperoleh bantuan tehnis ari Pemerintah, serta dengan menjalin kemitraan dengan berbagai pihak, seperti LSM, lembaga-lembaga donor, swasta, dunia usaha, dan sebagainya. Jadi aspek pemberdayaan masyarakat sebagai tumpuan kegiatan Revitalisasi Posyandu dimaksud perlu diarahkan pada strategi pendekatan Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat (UKBM) dengan akses kepada modal sosial-budaya masyarakat yang didasarkan atas nilai tradisi gotong-royong yang telah mengakar dalam kehidupan masyarakat menuju kemandirian dan keswadayaan masyarakat.

9. Menyadari di satu sisi adanyakebhinekaan kondisi ekonomi, sosial dan budaya masyarakat, dan pada sisi yang lain ada keinginan kesamaan dalam mencapai tingkat kemajuan dan kesejahteraan, maka diperlukan pedoman yang bersifat nasional guna melaksanakan Revitalisasi Posyandu. Karena berhasil atau tidak berhasinya pengembangan kualitas anak, sangat tergantung pula kepada sukses atau tidaknya upaya-upaya yang dilakukan dalam rangka Revitalisasi Posyandu.

B. Tujuan.

1. Tujuan Umum.

Meningkatkannya fungsi dan kinerja Posyandu agar dapat memenuhi kebutuhan tumbuh kembang anak sejak dalam kandungan,dan agar status gizi maupun derajat kesehatan ibu dan anak dapat dipertahankan dan atau ditingkatkan.

2. Tujuan Khusus.

a. Meningkatkan kualitas kemampuan dan ketrampilan kader Posyandu.

b. Meningkatkan pengelolaan dalam pelayanan Posyandu.

c. Meningkatkan pemenuhan kelengkapan sarana, alat, dan obat di Posyandu.

d. Meningkatkan kemitraan dan pemberdayaan masyarakat untuk kesinambungan kegiatan Posyandu.

e. Meningkatkan fungsi pendampingan dan kualitas pembinaan Posyandu.

C. Sasaran.

Sasaran kegiatan Revitalisasi Posyandu ini pada dasarnya meliputi seluruh Posyandu dengan prioritas utama pada Posyandu Pratama dan Madya sesuai dengan kebutuhan.

II. STRATEGI

Strategi yang perlu ditempuh dalam rangka mencapai tujuan Revitalisasi Posyandu, adalah :

A. Meningkatkan kemampuan pengetahuan dan ketrampilan teknis, serta dedikasi kader di Posyandu.

B. Memperlua system Posyandu dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan di hari buka dan kunjungan rumah.

C. Menciptakan iklim kondusif untuk pelayanan dengan pemenuhan sarana dan prasarana kerja Posyandu.

D. Meningkatkan peran serta masyarakat dan kemitraan dalam penyelenggaran dan pembiayaan kegiatan Posyandu.

E. Menyediakan system pilihan jenis dalam pelayanan (paket minimal dan tambahan) sesuai perkembangan kebutuhan masyarakat.

F. Menggunakan azas kecukupan dan urgensi dalam penetapan sasaran pelayanan dengan perhatian khusus pada Baduta untuk mencapai cakupan keseluruhan.

G. Memperkuat dukungan pembinaan dan pendampingan tehnis dari tenaga professional dan tokoh masyarakat, termasuk unsure LSM.

III. KOMPONEN KEGIATAN

Dalam melaksanakan strategi yang ditetapkan, perlu dilakukan kegiatan-kegiatan yang langsung maupun tidak langsung dapat meningkatkan fungsi dan kinerja Posyandu sebagai berikut :

1. Pelatihan Pelatih dan Pelatihan Kader.

Pelatihan kader bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan sekaligus dedikasi kader agar timbul kepercayaan diri untuk dapat melaksanakan tugas sebagai kader dalam melayani masyarakat, baik di Posyandu maupun saat melakukan kunjungan rumah.

Materi dalam pelatuhan kader dititik beratkan pada ketrampilan teknis menyusun rencana kerja kegiatan di Posyandu, cara menghitung kelompok sasaran yang menjadi tanggung jawab Posyandu, cara menimbang, menilai pertumbuhan anak, cara menyiapkan kegiatan pelayanan sesuai kebutuhan anak dan ibu, menyiapkan peragaan cara pemberian makanan pendamping ASI dan PMT untuk anak yang pertumbuhannya tidak cukup sebagaimana pertambahan umurnya dan anak yang berat badannya tidak naik, memantau perkembangan ibu hamil dan ibu menyusui, dan sebagainya.

Agar pelatihan kader dapat berjalan efektif, maka diperlukan unsure pelatih kader yang mampu dan berdedikasi dalam memberikan materi pelatihan secara efektif dan berkesinambungan, yakni melalui pendampingan dan bimbingan.

Pelatihan kader diberikan secara berkelanjutan berupa pelatihan dasar dan berjenjang yang berpedoman pada modul pelatihan kader.

1. Meningkatkan jangkauan pelayanan melalui kegiatan pelayanan pada hari buka Posyandu dan kunjungan rumah.

1. Pelayanan pada hari buka.

Pelayanan Posyandu pada hari buka dilaksanakan dengan menggunakan 5 tahapan layanan yang biasa disebut system 5 meja. Tanpa mengurangi arti kelompok sasaran yang selama ini dilayani, yakni 3 (tiga) kelompok rawan yaitu Baduta, Balita, Ibu hamil dan Ibu menyusui, namun dengan mempertimbangkan terhadap urgensi adanya gangguan gizi yang cukup bermakna yang pada umumnya melanda anak-anak Bawah Dua Tahun (Baduta) yang bila tidak diatasi dapat menimbulkan gangguan yang tetap, maka diberikan perhatian khusus bagi Baduta agar dapat tercakup dalam pemantauan pertumbuhan dan pelayanan Posyandu.

a) Jenis pelayanan yang minimal perlu diberikan kepada anak (balita dan baduta), adalah :

1) Penimbangan untuk memantau pertumbuhan anak, perhatian harus diberikan secara khusus terhadap anak yang selama 3 kali penimbangan pertumbuhannya tidak cukup naik sesuai umurnya (lebih rendah dari 200 gram/bulan) dan anak yang pertumbuhannya berada di bawah garis merah KMS.

2) Pemberian Makanan Pendamping ASI dan Vit.A dua kali setahun.

3) Pemberian PMT untuk anak yang tidak cukup pertumbuhannya (kurang dari 200 gram/bulan) dan anak yang berat badanya berada dibawah garis merah KMS.

4) Memantau atau melakukan pelayanan Imunisasi dan tanda-tanda lumpuh layuh.

5) Memantau kejadian ISPA dan Diare, serta melakukan rujukan bila diperlukan.

b) Paket Pelayanan Pengembangan atau pilihan, adalah paket layanan yang dapat ditambahkan atau dikembangkan bagi Posyandu yang telah mapan. Paket kegiatan pilihan ini merupakan perluasan kegiatan Posyandu yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat/kelompok sasaran di daerah, yang meliputi tambahan berbagai program, antara lain :

a) Program Pengembangan Anak Dini Usia (PADU) yang diintegrasikan Dengan Program Bina Keluarga Balita (BKB) dan kelompok bermain lainnya.

b) Program Dana Sehat/atau JPKM dan sejenisnya, seperti TABULIN, TABUMAS dan sebagainya.

c) Program Penyuluhan Penanggulangan penyakit endemis setempat seperti malaria, demam berdarah dengue (DBD), gondok endemic dan lain-lain.

d) Penyediaan air bersih dan penyehatan lingkungan pemukiman (PAB-PLB).

e) Usaha Kesehatan Gigi Masyarakat Desa (UKGMD).

f) Program Diversifikasi Pertanian Tanaman Pamngan.

g) Program sarana air minum dan jamban keluarga (SAMIJAGA) dan perbaikan lingkungan pemukiman.

h) Pemanfaatan pekarangan.

i) Kegiatan ekonomis produktif, seperti usaha simpan pinjam dan lain-lain.

j) Dan kegiatan lainnya seperti : TPA, Pengajian, Taman Bermain, Arisan, Peragaan Teknologi Tepat Guna dan sejenisnya.

c) Pelayanan Ibu Hamil dan Ibu menyusui

Bagi ibu hamil dan menyusui, pelayanan diberikan oleh tenaga kesehatan baik oleh Bidan Desa maupun tenaga Kesehatan dari Puskesmas di Meja V saat Posyandu buka, berupa :

1) Ibu hamil

(a) Pemeriksaan kehamilan.

(b) Pemberian makanan tambahan bagi ibu hamil yang mengalami KEK.

(c) Pemberian tablet tambah darah .

(d) Penyuluhan gizi dan kesehatan reproduksi.

2) Ibu menyusui

(a) Pemberian Vit. A.

(b) Pemberian Makanan Tambahan.

(c) Pelayanan nifas dan pemberian tablet tambah darah.

(d) Penyuluhan tentang pemenuhan gizi selama menyusui, pemberian ASI eksklusif, perawatan nifas dan perawatan bayi baru lahir.

(e) Pelayanan KB.

2. Pelayanan dengan Kunjungan Rumah

Kunjungan rumah dilakukan oleh kader dan bila perlu didampingi oleh pendamping dari tenaga kesehatan atau tokoh masyarakat maupun unsur LSM sebelum dan sesudah hari buka Posyandu.

Kegiatan yang dilakukan dalam kunjungan rumah meliputi :

a) Menyampaikan undangan kepada kelompok sasaran agar berkunjung ke Posyandu saat hari buka.

b) Mengadakan pemutahiran data bayi, balita, ibu hamil, ibu menyusui dan pemetaan keluarga miskin.

c) Intensifikasi penyuluhan gizi dan kesehatan dasar.

d) Melakukan tindak lanjut temuan pada hari buka Posyandu dengan pemberian PMT.

e) Pemantauan status imunisasi dan lumpuh layuh.

f) Dengan dukungan tenaga kesehatan dan tokoh masyarakat melakukan kampanye pemeriksaan kehamilan dan pertolongan persalinan oleh bidan atau tenaga kesehatan dari Puskesmas dan dapat membentuk kegiatan Kelompok Peminat Kesehatan Ibu dan Anak.

1. Meningkatkan peran serta masyarakat dan membangun Kemitraan

Sebagai unit pelayanan yang berbasis masyarakat, Posyandu perlu mendapat dukungan luas dari masyarakat melalui peran sertanya agar kegiatan Posyandu dapat berkelanjutan dan jangkauannya meluas sesuai kebutuhan kelompok sasaran yang dilayaninya.

Peningkatan peran serta masyarakat untuk mendukung kegiatan Posyandu dapat dilakukan melalui :

1. Pembentukan suatu lembaga atau unit pengelola Posyandu didesa yang anggotanya dipilih dari masyarakat, dengan tugas untuk mengelola secara professional penyelenggaraan Posyandu, termasuk memperhatikan masalah ketenagaan, sarana dan pembiayaan bagi kelangsungan Posyandu yang bersumber dari masyarakat.

2. Pemberian penghargaan kepada kader berupa dana hibah atau pinjaman modal usaha bagi kader yang kinerjanya baik sebagai suatu perangsang agar terus tekun dalam menjalankan tugasnya. Hal ini dimasukan pula sebagai upaya pemberdayaan ekonomi kader.

3. Pemberian bantuan pembiayaan untuk penyelenggaraan Posyandu yang bersumber dari dana masyarakat, seperti zakat dan sumbangan keagamaan yang sejenis, maupun pemberian bantuan sarana dasar untuk pelaksanaan fungsi pokok Posyandu.

4. Pemberian bimbingan dalam rangka pengelolaan Posyandu maupun kegiatan langsung berupa pelayanan seperti konseling dan rujukan yang dapat meningkatkan mutu Posyandu secara menyeluruh.

5. Kemitraan yang dapat diwujudkan dengan cara membentuk dan memperkuat jejaring antar dan atau beberapa Posyandu yang diselenggarakan oleh berbagai organisasi kemasyarakatan, baik yang berada dalam satu desa atau sebutan lain, ataupun pada wilayah yang lebih luas. Dalam kemitraan, inti kegiatannya dapat berupa pelayanan langsung maupun bentuk lainnya yang berkaitan dengan peningkatan fungsi Posyandu, seperti pelatihan, orientasi, temu kerja, temu konsultasi, sarasehan, supervisi, dan evaluasi serta penggerakan peran serta masyarakat agar memperhatikan Posyandu sebagai unit pelayanan yang membantu keluarga dalam pengembangan kualitas generasi masa depan.

D. Optimalisasi Kegiatan Posyandu

Mengoptimalkan kegiatan Posyandu dengan cara memenuhi sarana dan prasarananya, sehingga Posyandu dapat berlangsung secara optimal, baik saat hari buka maupun saat kunjungan rumah tanpa mengalami hambatan. Sarana dasar seperti timbangan bayi, timbangan dewasa, kartu KMS, pita LILA, alat peragaan memasak, bahan KIE, obat-obatan berupa Vit.A, tablet dan sirup Fe, kapsul iodium, obat cacing, oralit, ATK dan format SIP untuk menunjang kegiatan pelayanan minimal dan paket Tambahan sesuai jumlah kelompok sasaran yang ditetapkan, merupakan syarat dasar untuk berfungsinya Posyandu secara baik.

Bahwa pemenuhan sarana dan prasarana tersebut pada hakekatnya menjadi tanggung jawab pengelola Posyandu dan masyarakat setempat. Pemerintah dan lembaga donor lainnya dapat membantu dalam melengkapi kegiatan, yang selanjutnya untuk kesinambungannya harus diusahakan oleh masyarakat.

Pada hari buka biasanya Posyandu menggunakan ruangan dan peralatan yang disediakan oleh masyarakat yang peduli terhadap keberadaan Posyandu. Prasarana kerja dan sumbangan masyarakat akan sangat mempengaruhi kinerja para kader maupun para pengunjung Posyandu pada saat pelayanan.

Prasarana kerja yang menciptakan suasana menentramkan dan akrab pendatang, akan menjadi salah satu daya tarik bagi kelompok sasaran untuk secara teratur atau secara berkala mengunjungi Posyandu.

1. Pelayanan Menggunakan Sistem Kafetaria (Pilihan Jenis Layanan)

Keragaman kondisi atau situasi anak dan ibu diberbagai daerah di Indonesia, perlu didekati melalui pemberlakuan pilihan system kafetaria (pilihan jenis layanan) sesuai kebutuhan kelompok sasaran, meskipun secara umum setiap Posyandu mampu memberi pelayanan mulai dari paket minimum sampai paket tambahan.

Pelayanan dengan pendekatan untuk memilih sendiri jenis pelayanan sesuai kebutuhan para klien, hendaknya tetap tidak menghilangkan tugas pokok Posyandu untuk menjadi unit pemantau tumbuh kembang anak, khususnya guna memenuhi kelompok sasaran yang paling rawan dalam proses tumbuh kembangnya, yakni Baduta. Selain itu, Posyandu diharapkan selalu dapat memberi layanan dalam pendidikan pada para ibu untuk memelihara bayi dan balita secara tepat melalui peningkatan kemampuan untuk mengamati adanya tanda-tanda penyimpangan dalam tumbuh kembang, seperti psiko-motorik/kemampuan kognitif (daya piker dan daya cipta), psiko-sosial/emosi, dan lain-lain.

1. Memberikan Perhatian Khusus Pada Kelompok sasaran Berdasar Azas Kecukupan (terutama pada Baduta).

Pada azas kecukupan, selain Revitalisasi Posyandu akan memprioritaskan kegiatannya pada Posyandu Pratama dan Madya, maka pada hari buka Posyandu perlu mempertimbangkan kondisi Posyandu yang masih menghadapi keterbatasan akan sumber daya manusia dan sarana.

Untuk menghindari pemborosan penggunaan sumber daya yang tersedia serta mempertimbangkan urgensi dalam penyelamatan dan peningkatan pengembangan SDM dini, maka dalam Revitalisasi Posyandu perlu diberikan perhatian khusus pelayanan pada kelompok Baduta berdasarkan azas kecukupan pelayanan Posyandu, yakni untuk memberi perhatian secara khusus kepada kelompok Baduta sebagai kelompok yang paling rentan terkena gangguan dalam proses tumbuh kembangnya. Dengan menguatkan kapasitas Posyandu untuk Deteksi Dini dan memperbaiki pertumbuhan anak Baduta, serta mencegah peningkatan gangguan gizi yang tidak perlu terjadi, maka bila hal ini dilakukan dalam lima tahun mendatang diharapkan akan dapat menurunkan prevalensi gangguan gizi secara bermakna.

1. Memperkuat Dukungan Pendampingan Dan Pembinaan Oleh Tenaga Profesional dan Tokoh Masyarakat.

Tugas kader Posyandu untuk mengelola dan melayani masyarakat untuk mendukung peningkatan kualitas SDM dini merupakan tugas yang berat dan dilakukan secara sukarela. Berkaitan dengan hal tersebut, mengingat berbagai keterbatasan yang dimiliki kader, maka keberhasilannya akan sangat tergantung dari seberapa jauh upaya pelaksanaan tugas kader mendapatkan dukungan pendampingan maupun bimbingan tenaga professional terkait maupun dari para tokoh masyarakat.

Secara teknis pendampingan dapat dilakukan oleh tenaga professional pada saat posyandu buka, yakni melalui pelayanan pada meja II, III, IV, dengan cara meningkatkan ketrampilan kader dalam menimbang, mencatat hasil penimbangan pada kartu KMS maupun register dan memahami hasil penimbangan, serta melakukan penyuluhan perorangan tentang hal-hal yang perlu diketahui oleh para ibu baik untuk dirinya maupun untuk anaknya.

Secara teratur pembinaan harus dilakukan oleh pengelola Posyandu di desa untuk memajukan penyelenggaraan Posyandu. Selain itu, pembinaan juga dilakukan oleh Dinas/Instansi yang peduli dan terkait dengan kegiatan program Posyandu, seperti Pokjanal Posyandu Kecamatan, unsure Puskesmas (Bidan di Desa / Polindes), Dinas Pendidikan, BKKBN, Kepala Desa/Lurah, Tim Penggerak PKK, dan organisasi kemasyarakatan lainnya yang mengelola Posyandu.

Pembinaan dapat dilakukan secara sendiri atau dalam kesatuan Tim yang dibentuk untuk pembinaan Posyandu, disesuaikan dengan situasi dan kebutuhan setempat.

IV. PENGORGANISASIAN

Untuk melaksanakan Revitalisasi Posyandu, perlu dilakukan pengorganisasian terhadap dua hal yang berkaitan, yaitu pengorganisasian Posyandu di Desa dan pengorganisasian untuk pembinaan Posyandu.

A. Pengorganisasian Posyandu

Sebagai unit yang memberi pelayanan langsung kepada masyarakat dan bersifat sebagai unit pelayanan kesehatan dasar masyarakat terutama ibu dan anak, maka organisasi Posyandu sesungguhnya bersifat organisasi fungsional yang dipimpin oleh seorang Pimpinan/Penanggungjawab dan dibantu oleh para pelaksana pelayanan yang terdiri dari kader Posyandu sebanyak 4-5 orang. Agar Posyandu dapat dikelola secara baik, perlu dukungan tenaga administrasi yang bertugas mengadministrasikan kegiatan Posyandu.

Kemudian dari beberapa Posyandu yang ada di suatu wilayah (Kelurahan/Desa atau dengan sebutan lain) selayaknya dikelola oleh suatu unit/kelompok (nama lain) Pengelola Posyandu yang keanggotaannya dipilih dari kalangan masyarakat setempat. Unit Pengelola Posyandu ini dipimpin oleh seorang Ketua yang dipilih dari para anggota.

Bentuk susunan organisasi Unit Pengelola Posyandu di Desa, ditetapkan melalui kesepakatan dari para anggota Pengelola Posyandu. Tugas dan tanggung jawab masing-masing unsure pada setiap kepengurusan, juga disepakati dalam unit/kelompok Pengelola Posyandu bersama masyarakat setempat. Namun pada hakekatnya susunan kepengurusan itu sifatnya fleksibel, tergantung pada kondisi setempat.

Dalam tatanan kehidupan bermasyarakat di desa, unit Pengelola Posyandu mempunyai kewajiban melaporkan keberadaannya kepada Kepala Desa/Lurah. Oleh karena itu, Kepala Desa/Lurah berkewajiban pula untuk membina keberadaan unit Pengelola Posyandu, karena kegiatan Posyandu yang dikelola oleh masyarakat itu pada dasarnya adalah untuk kepentingan pemajuan pengembangan kualitas sumber daya manusia (SDM) dini di daerahnya, yang berarti sebagai suatu asset di desa.

Contoh alternatif bagan Pengorganisasian Posyandu di desa, sebagai berikut:



KEPALA DESA

Unit/Kelompok (Nama Lain) Pengelola Posyandu

Posyandu A

Posyandu B

Posyandu C



B. Pengorganisasian Institusi Pembina Posyandu

Untuk mendukung kegiatan Posyandu sebagai wahana yang memberi pelayanan dalam pemenuhan kebuthan dasar pengembangan kualitas manusia dini, perlu dibentuk institusi Pembina Posyandu yang berfungsi memfasilitasi, membina, memantau dan mengevaluasi kegiatan Posyandu sesuai kebutuhan. Institusi tersebut mempunyai struktur seperti Pokjanal Posyandu yang berada di Kecamatan, Kabupaten/Kota, Propinsi dan Pusat.

Bila Pokjanal Posyandu di daerah masih berfungsi, maka diharapkan dapat memanfaatkan keberadaan organisasi tersebut sebagai institusi Pembina Posyandu yang keanggotaannya terdiri dari wakil-wakil dinas/instansi/lembaga terkait dan organisasi kemasyarakatan yang memiliki kepedulian terhadap kegiatan pelayanan masyarakat di Posyandu.

Dalam melaksanakan tugasnya, institusi Pembina Posyandu tersebut dipimpin oleh seorang Ketua, yang dibantu oleh beberapa anggota yang mewakili instansi-instansi dan unsur yang terlibat dalam Posyandu.

Susunan organisasi institusi Pembina Posyandu ditetapkan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi daerah masing-masing. Namun dengan tidak bermaksud untuk menyeragamkan bentuk susunan organisasi dan tata kerja institusi Pembina Posyandu, seyogyanya untuk mencegah kerancuan perlu ada uraian peran masing-masing unsure dinas/instansi/lembaga yang terkait dalam pembinaan Posyandu, misalnya :

§ Dinas/Badan/Kantor PMD/Bina Pemberdayaan Masyarakat :

berperan dalam fungsi koordinasi penyelenggaraan pembinaan, penggerakan dan pengembangan masyarakat, pengembangan metode pendampingan masyarakat, teknis advokasi, dan sebagainya.

§ Dinas Kesehatan :berperan dalam membantu pemenuhan pelayanan sarana dan prasarana kesehatan (pengadaan alat timbangan, distribusi KMS, distribusi obat-obatan dan vitamin) serta dukungan bimbingan tenaga teknis kesehatan.

§ BKKBN/PLKB : berperan dalam pelayanan kontrasepsi, penyuluhan, penggerakan peran serta masyarakat, dan sebagainya.

§ BAPPEDA : berperan dalam perencanaan umum dan evaluasi

§ TP-PKK : berperan dalam pendayagunaan Kader, motivasi masyarakat, penyuluhan dan bimbingan teknis, dan sebagainya.

§ Dinas Pendidikan, LSM dan sebagainya : berperan dalam mendukung teknis operasional Posyandu.

Tugas dan fungsi institusi Pembina Posyandu secara keseluruhan ialah mendukung kelangsungan Posyandu sebagai unit pelayanan kesehatan dasar masyarakat, khususnya dari kelmpok paling rentan Ibu dan Anak.

Secara Nasional, kelembagaan sejenis yang berperan dalam mengkoordinasikan kegiatan lintas sector dan lintas program yang mendukung kegiatan Posyandu tetap diperlukan. Fungsi tersebut pada hakekatnya dapat dilakukan oleh Pokjanal Posyandu yang selama ini melaksanakan fasilitasi, pembinaan dan pemantauan, serta evaluasi kegiatan Revitalisasi Posyandu, dan jika masih dianggap relevan keberadaannya dapat dimanfaatkan atau mebuat Kelompok Kerja baru sesuai dengan kondisi daerah.

Meskipin Posyandu merupakan unit pelayanan kesehatan dasar berbasis masyarakat yang berada di kelurahan/desa, namun karena peran Posyandu sangat menentukan terhadap gambaran kondisi ibu dan anak secara nasional, maka disetiap daerah perlu dilakukan pemantauan kegiatan Revitalisasi Posyandu. Frekuensi dan jenis kegiatan Revitalisasi Posyandu yang dipantau ditetapkan atas kebutuhan masing-masing daerah.

Pada tingkat operasional (Kelurahan/Desa, Kecamatan), pemantauan dilakukan secara bulanan, dengan melaksanakan kunjungan lapangan atau dengan mempelajari laporan yang disampaikan oleh Posyandu di wilayah kerjanya.

V. INDIKATOR KEMAJUAN REVITALISASI POSYANDU

Kemajuan kegiatan Revitalisasi Posyandu dapat diukur dari aspek input/asupan, proses, luaran (output), dan dampak (out come) sebagai berikut :

A. Indikator Input :

1.Jumlah Posyandu yang telah lengkap sarana dan obat-obatnya.

2.Jumlah kader yang telah dilatih dan aktif bekerja.

3.Jumlah kader yang mendapat akses untuk meningkatkan ekonominya.

4.Adanya dukungan pembiayaan dari masyarakat setempat, pemerintah dan lembaga donor untuk kegiatan Posyandu.

B. Indikator Proses :

1. Meningkatnya frekuensi pelatihan kader Posyandu.

2. Meningkatnya frekuensi pendampingan dan pembinaan Posyandu.

3. Meningkatnya jenis pelayanan yang dapat diberikan.

4. Meningkatnya partisipasi masyarakat untuk Posyandu.

5. Menguatnya kapasitas pemantauan pertumbuhan anak.

C. Indikator Luaran :

1. Meningkatkan cakupan bayi dan balita yang dilayani.

2. Pencapaian cakupan seluruh balita.

3. Meningkatnya cakupan ibu hamil dan ibu menyusui yang dilayani.

4. Meningkatnya cakupan kasus yang dipantau dalam kunjungan rumah.

D. Indikator dampak (Outcome) :

1. Meningkatnya status gizi balita.

2. Berkurangnya jumlah anak yang berat badannya tidak cukup naik.

3. Berkurangnya prevalensi penyakit anak (cacingan , diare, ISPA).

4. Berkurangnya prevalensi anemia ibu hamil dan ibu menyusui.

5. Mantapnya pola pemeliharaan anak secara baik di tingkat keluarga.

6. Mantapnya kesinambungan Posyandu.

VI. PENDANAAN.

Dana yang diperlukan untuk membiayai kegiatan Posyandu termasuk untuk Revitalisasi, dihimpun dari semangat kebersamaan dan digunakan secara terpadu dari masyarakat, anggaran pemerintah daerah Kabupaten/Kota, Propinsi dan pemerintah pusat serta sumbangan swasta dan donor lainnya, baik domestik maupun Internasional.

Agar kegiatan Posyandu dapat berkesinambungan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, maka perlu digali potensi sumber dana yang saat ini masih belum digunakan khususnya penghimpunan dana secara tradisional maupun berbasis keagamaan.

Sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah, pemerintah daerah diharapkan dapat melanjutkan membiayai Revitalisasi Posyandu sebagai kegiatan pelayanan dasar yang pada saat ini dibiayai dari program Jaring Pengaman Sosial (JPS-BK).

VII. BUKU-BUKU RUJUKAN

Untuk rujukan operasional Revitalisasi Posyandu, kiranya dapat pula dipedomani buku-buku yang telah diterbitkan sebagai paduan dalam rangka peningkatan derajat kesehatan dan status gizi bayi, balita dan ibu hamil serta ibu menyusui, sebagai berikut :

1. Buku Pendekatan Kemasyarakatan, Depkes (Tahun 1997).

2. Buku Pedoman Pengenalan Tanda Bahaya Pada Kehamilan, Persalinan Dan Nifas (Tahun 1999).

3. Buku Manajemen Pembinaan Peran Serta Masyarakat (Manajemen ARREF), Depkes (Tahun 1999).

4. Buku Panduan Umum Pemberdayaan Masyarakat Dibidang Kesehatan Ibu dan Anak (Tahun 2000).

5. Buku Paket KIE Untuk Pemberdayaan Masyarakat Di Bidang Kesehatan Ibu dan Anak (Tahun 2000).

6. Buku Pedoman Umum Mobilisasi dan Pengelolaan Sumber Daya Masyarakat Untuk Ibu dan Anak (Tahun 2000).

7. Buku Panduan Penggunaan KMS Balita (Tahun 2000).

8. Buku Panduan MP-ASI (Tahun 2000).

9. Buku Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM), Depkes (Tahun 2000).

10. Buku Pedoman Pelaksanaan Pendekatan Partispatif Masyarakat Dalam Meningkatkan Kinerja Posyandu (Tahun 2001).

11. Buku Pegangan Kader Dalam UPGK.

12. Dan Lain-Lain.

VIII. PENUTUP

Pembaharuan terhadap Pedoman Umum Revitalisasi Posyandu ini, sebagaimana yang pernah diedarkan melalui Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor :411.3/536/SJ tanggal 3 Maret 1999, merupakan langkah penyesuaian dalam pelaksanaan Undang-Unmdang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, sekaligus menyikapi perkembangan demokratisasi kehidupan bermasyarakat untuk memperkuat jalinan kemitraan pemerintah dan masyarakat dalam mencapai kesejahteraan.

Memperhatikan arti penting peran pemerintah dalam memfalitasi pembaharuan kehidupan bermasyarakat, diharapkan seluruh jajaran pemerintah di Pusat dan khususnya di Daerah dapat mensosialisasikan Pedoman Umum Revitalisasi Posyandu ini kepada jajarannya dan kepada masyarakat, agar diperoleh peningkatan fungsi dan kinerja Posyandu yang pada akhirnya dapat menjadi salah satu unsur untuk memperbaiki status gizi dan derajat kesehatan masyarakat sebagaimana yang diharapkan.

Hal-hal yang bersifat teknis dalam pelaksanaan Revitalisasi Posyandu yang tidak atau belum dimuat dalam Pedoman ini, dapat menggunakan Pedoman yang telah ada sepanjang tidak bertentangan dengan aturan-aturan baku.

MENTERI DALAM NEGERI

DAN OTONOMI DAERAH

TTD

SURJADI SOEDIRDJA

KEP

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

KEP adalah salah satu masalah gizi utama yang banyak dijumpai pada balita di Indonesia maupun negara-negara berkembang lainnya KEP berdampak terhadap pertumbuhan, perkembangan intelektual dan produktivitas antara 20-30%, selain itu juga dampak langsung terhadap kesakitan dan kematian.

Indonesia sebagai salah satu negara yang sedang berkembang masih menghadapi masalah kekurangan gizi yang cukup besar. Kurang gizi pada balita terjadi karena pada usia tersebut kebutuhan gizi lebih besar dan balita merupakan tahapan usia yang rawan gizi1.

Masalah gizi yang sampai saat ini masih menjadi masalah ditingkat nasional adalah gizi kurang pada balita, anemia, gangguan akibat kekurangan Yodium (GAKY) dan kurang vitamin A, masalah tersebut disebagian besar kabupaten/kota dengan factor penyebab yang berbeda2.

Usia dibawah lima tahun (balita) terutama pada usia 1-3 tahun merupakan masa pertumbuhan yang cepat (growth spurt), baik fisik maupun otak. Sehingga memerlukan kebutuhan gizi yang paling banyak dibandingkan pada masa-masa berikutnya. pada masa ini anak sering mengalami kesulitan makan, apabila kebutuhan nutrisi tidak ditangani dengan baik maka akan mudah terjadi Kekurangan energi protein (KEP)4.

Anak usia di bawah lima tahun (balita) merupakan golongan yang rentan terhadap masalah kesehatan dan gizi, diantaranya adalah masalah kurang energi protein (KEP) yang merupakan masalah gizi utama di Indonesia1.

Untuk mengantisipasi masalah di atas, diperlukan upaya pencegahan dan penanggulangan secara terpadu di setiap tingkat pelayanan kesehatan, termasuk pada sarana kesehatan seperti Rumah Sakit, Puskesmas perawatan, Puskesmas, Balai Pengobatan, Puskesmas Pembantu, Pos Pelayanan Terpadu, dan Pusat Pemulihan Gizi yang disertai peran aktif masyarakat.

I.2 Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang kami dalam makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Apa saja factor penyebab terjadinya KEP pada balita?
2. Bagaimana dampak KEP pada balita?
3. Bagaimana penanggulangan KEP pada balita?
4. Bagaimana pelayanan gizi balita KEP berat/gizi buruk.

I.3 Tujuan Penulisan

Berdasarkan hal-hal yang melatarbelakangi dan menjadi rumusan masalah, penulisan makalh ini bertujuan untuk :

1. Untuk mengetahui factor penyebab dari kekurangan energi protein pada balita.
2. Untuk mengetahui dampak dari kekurangan energi protein pada balita.
3. Untuk mengetahui program penanggulangan dari kekurangan energi protein pada balita.
4. Untuk mengetahui pelayanan gizi balita KEP berat/gizi buruk.

BAB II

PEMBAHASAN
II.1 PENGERTIAN DAN DASAR DIAGNOSIS KEP

1. Pengertian

a. Kurang Energi Protein (KEP)

Menurut Supariasa (2000) Kurang Energi Protein (KEP) adalah seseorang yang kurang gizi yang disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi dan protein dalam makanan sehari-hari dan atau gangguan penyakit tertentu2.

KEP adalah keadaan kurang gizi yang disebabkan rendahnya konsumsi energi dan protein dalam makanan sehari-hari sehingga tidak memenuhi Angka Kecukupan Gizi (AKG).

Anak balita merupakan kelompok yang menunjukkan pertumbuhan badan yang pesat, sehingga memerlukan zat-zat gizi yang tinggi setiap kilogram berat badannya. Anak balita ini justru merupakan kelompok umur yang paling sering menderita akibat kekurangan gizi Pada anak-anak KEP dapat menghambat pertumbuhan, rentan terhadap penyakit infeksi dan mengakibatkan rendahnya tingkat kecerdasan3.

b. Klasifikasi KEP

Berikut ini adalah klasifikasi Kurang Energi Protein1:

* KEP ringan bila berat badan menurut umur (BB/U) 70-80% baku median WHO-NCHS dan/atau berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) 80-90% baku median WHO-NCHS;
* KEP sedang bila BB/U 60-70% baku median WHO-NCHS dan/atau BB/TB 70-80% baku median WHO-NCHS;
* KEP berat/Gizi buruk bila BB/U <60% baku median WHO-NCHS dan/atau BB/TB <70% baku median WHO-NCHS.

Penentuan KEP dilakukan berdasarkan indikator antropometri yaitu berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U) dan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB). Anak dikatakan mengalami KEP apabila berada di bawah -2 z-score (standar Internasional NCHS-WHO) dari setiap indikator4.

CATATAN1:

* KEP berat/Gizi buruk secara klinis terdapat dalam 3 (tiga) tipe yaitu, Kwashiorkor, Marasmus, dan Marasmik-Kwashiorkor;
* Tanpa melihat Berat Badan bila disertai edema yang bukan karena penyakit lain adalah KEP berat/Gizi buruk tipe Kwashiorkor;
* KEP nyata adalah istilah yang digunakan di lapangan, yang meliputi KEP sedang dan KEP berat/Gizi buruk dan pada KMS berada di bawah garis merah (tidak ada garis pemisah antara KEP sedang dan KEP berat/Gizi buruk pada KMS);
* KEP total adalah jumlah KEP ringan, KEP sedang, dan KEP berat/Gizi buruk (BB/U <80% baku median WHO-NCHS).

2. Gejala klinis KEP berat/Gizi buruk yang dapat ditemukan1:

a. Kwashiorkor

- Edema, umumnya seluruh tubuh, terutama pada punggung kaki (dorsum pedis)

- Wajah membulat dan sembab

- Pandangan mata sayu

- Rambut tipis, kemerahan seperti warna rambut jagung, mudah dicabut tanpa rasa sakit, rontok

- Perubahan status mental, apatis, dan rewel

- Pembesaran hati

- Otot mengecil (hipotrofi), lebih nyata bila diperiksa pada posisi berdiri atau duduk

- Kelainan kulit berupa bercak merah muda yang meluas dan berubah warna menjadi coklat kehitaman dan terkelupas (crazy pavement dermatosis)

- Sering disertai: -penyakit infeksi, umumnya akut anemia, diare.

b. Marasmus:

- Tampak sangat kurus, hingga tulang terbungkus kulit

- Wajah seperti orang tua

- Cengeng, rewel

- Kulit keriput, jaringan lemak subkutis sangat sedikit sampai tidak ada (pada daerah pantat tampak seperti memakai celana longgar/”baggy pants”)

- Perut cekung

- Iga gambang

- Sering disertai: penyakit infeksi (umumnya kronis berulang), diare

c. Marasmik-Kwashiorkor:

- Gambaran klinik merupakan campuran dari beberapa gejala klnik Kwashiorkor dan Marasmus, dengan BB/U <60% baku median WHO-NCHS disertai edema yang tidak mencolok.

3. Defisiensi nutrien mikro yang sering menyertai KEP berat/ Gizi buruk.

Pada setiap penderita KEP berat/Gizi buruk, selalu periksa adanya gejala defisiensi nutrien mikro yang sering menyertai seperti1:

- Xerophthalmia (defisiensi vitamin A)

- Anemia (defisiensi Fe, Cu, vitamin B12, asam folat)

- Stomatitis (vitamin B, C).

II. 2 FAKTOR PENYEBAB DAN DAMPAK DARI KEP PADA BALITA

Factor Penyebab

UNICEF (1988) telah mengembangkan kerangka konsep makro (skema: terlampir) sebagai salah satu strategi untuk menanggulangi masalah kurang gizi. Dalam kerangka tersebut ditunjukkan bahwa masalah gizi kurang dapat disebabkan oleh7:

A. Penyebab langsung

Makanan dan penyakit dapat secara langsung menyebabkan gizi kurang. Timbulnya gizi kurang tidak hanya dikarenakan asupan makanan yang kurang, tetapi juga penyakit. Anak yang mendapat cukup makanan tetapi sering menderita sakit, pada akhirnya dapat menderita gizi kurang. Demikian pula pada anak yang tidak memperoleh cukup makan, maka daya tahan tubuhnya akan melemah dan akan mudah terserang penyakit.

B. Penyebab tidak langsung

Ada 3 penyebab tidak langsung yang menyebabkan gizi kurang yaitu :

- Ketahanan pangan keluarga yang kurang memadai. Setiap keluarga diharapkan mampu untuk memenuhi kebutuhan pangan seluruh anggota keluarganya dalam jumlah yang cukup baik jumlah maupun mutu gizinya.

- Pola pengasuhan anak kurang memadai. Setiap keluarga dan mayarakat diharapkan dapat menyediakan waktu, perhatian, dan dukungan terhadap anak agar dapat tumbuh kembang dengan baik baik fisik, mental dan sosial.

- Pelayanan kesehatan dan lingkungan kurang memadai. Sistim pelayanan kesehatan yang ada diharapkan dapat menjamin penyediaan air bersih dan sarana pelayanan kesehatan dasar yang terjangkau oleh setiap keluarga yang membutuhkan.

Ketiga faktor tersebut berkaitan dengan tingkat pendidikan, pengetahuan dan ketrampilan keluarga. Makin tinggi tingkat pendidikan, pengetahuan dan ketrampilan, makin baik tingkat ketahanan pangan keluarga, makin baik pola pengasuhan maka akan makin banyak keluarga yang memanfaatkan pelayanan kesehatan.

C. Pokok masalah di masyarakat

Kurangnya pemberdayaan keluarga dan kurangnya pemanfaatan sumber daya masyarakat berkaitan dengan berbagai faktor langsung maupun tidak langsung.

D. Akar masalah

Kurangnya pemberdayaan wanita dan keluarga serta kurangnya pemanfaatan sumber daya masyarakat terkait dengan meningkatnya pengangguran, inflasi dan kemiskinan yang disebabkan oleh krisis ekonomi, politik dan keresahan sosial yang menimpa Indonesia sejak tahun 1997. Keadaan tersebut teleh memicu munculnya kasus-kasus gizi buruk akibat kemiskinan dan ketahanan pangan keluarga yang tidak memadai.
Hasil penelitian yang dilakukan Zakaria dkk tentang Faktor-Faktor Determinan Kejadian Kurang Energi Protein (Kep) Pada Anak Umur 6-5 Bulan Di Kabupaten Pangkep menunjukkan bahwa umur (p=0,005), penyakit infeksi (p=0,032), tingkat pendapatan (p=0,073) dan konsumsi energi (p=0,083) merupakan faktor determinan terhadap kejadian KEP pada anak Batita berdasarkan indikator BB/U. Selanjutnya umur (p=0,000) dan perolehan imunisasi (p=0,029) merupakan faktor determinan terhadap kejadian KEP pada anak Batita berdasarkan indikator TB/U. Dan tingkat pendapatan (p=0,025), konsumsi protein (p=0,068) dan kunjungan ibu ke Posyandu (p=0,085) merupakan faktor determinan terhadap kejadian KEP pada anak Batita berdasarkan indikator BB/TB5.

Sedangkan hasil penelitian Erledis Simanjuntak menunjukkan bahwa Banyak faktor resiko terjadinya KEP pada balita diantaranya: penyakit infeksi, jenis kelamin, umur, berat badan lahir rendah, tidak diberi ASI eksklusif, imunisasi tidak lengkap, nomor urut anak, pekerjaan ayah dengan tingkat sosial ekonomi yang rendah, ibu pekerja, tingkat pendidikan orang tua yang rendah, jumlah anggota keluarga yang besar dan lain- lain6.

Hal ini berarti bahwa penyebab terjadinya KEP pada balita adalah sebagai berikut:

1. Penyakit Infeksi
2. Tingkat Pendapatan Orang Tua yang rendah
3. Konsumsi Energi yang kurang
4. Perolehan Imunisasi yang kurang
5. Konsumsi Protein yang kurang
6. Kunjungan Ibu ke Posyandu, hal ini berkaitan dengan pengetahuan ibu.

Selain itu besarnya masalah gizi di Indonesia disebabkan oleh beberapa faktor penting, yaitu karena ketidaktahuan serta karena bagitu lekatnya tradisi dan kebiasaan yang mengakar di masyarakat khususnya dibidang makanan, cara pengolahan makanan, dan cara penyajian serta menu masyarakat kita dengan segala tabu-tabunya. Salah satu penyebab malnutrisi (kurang gizi) diantaranya karena faktor ekonomi yaitu daya beli yang rendah dari para keluarga yang kurang mampu. Nampaknya ada hubungan yang erat antara pendapatan keluarga dan status gizi anak-anaknya. Pengetahuan ibu juga merupakan salah satu factor terjadinya kurang gizi pada balita, karena masih banyak orang yang beranggapan bahwa bila anaknya sudah kenyang berarti kebutuhan mereka terhadap gizi sudah terpenuhi4.

Dampak KEP Bagi Balita

Dari berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa KEP merupakan salah satu bentuk kurang gizi yang mempunyai dampak menurunkan mutu fisik dan intelektual,serta menurunkan daya tahan tubuh yang berakibat meningkatnya resiko kesakitan dan kematian terutama pada kelompok rentan biologis. Pengejawantahan KEP terlihat dari keadaan fisik seseorang yang diukur secara Antropometri. Manifestasi KEP tercermin dalam bentuk fisik tubuh yang apabila diukur secara Anthropometri (TB/U, BB/U, BB/TB) kurang dari nilai baku yang dianjurkan.

Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa KEP merupakan salah satu bentuk kurang gizi yang mempunyai dampak menurunkan mutu fisik dan intelektual serta menurunkan daya tahan tubuh yang berakibat meningkatnya resiko kesakitan dan kematian terutama pada kelompok rentan biologis8.

II.3 UPAYA PENANGGULANGAN KEP

Masalah KEP atau pencapaian status gizi (dalam arti positif) merupakan salah satu keluaran penting dari pembangunan sosial-ekonomi-budaya. ecara umum. Oleh karenanya status girl dijadikan salah satu indikator suksesnya pembangunan. Penentuan kriteria, target, dan tahapan pencapaiannya dapat disusun secara teknis. Pencapaian status gizi tersebut dilaksanakan dalam pendekatan lintas sektoral, multifaset dan komprehensif8.

Sesuai dengan sifat masalah KEP yang kompleks, maka berkurangnya prevalensi KEP pada anak balita merupakan dampak komplementer dari berbagai program pembangunan sosial dan ekonomi yang ada, sedang program gizi lebih banyak ikut memberi arah agar unsur perbaikan gizi tidak terlupakan. Disamping itu, keberhasilan dalam meningkatkan keadaan gizi anak balita juga merupakan akibat langsung peran serta aktif masyarakat, terutarna peranan wanita dan Lembaga Sosial Masyarakat lain di Posyandu. Penanggulangan KEP diprioritaskan daerah tertinggal/miskin baik di pedesaan/perkotaan. Kegiatan ini pelaksanaannya diintegrasikan kedalam program penanggulangan kemiskinan secara nasional8.

Kegiatan penanggulangan KEP meliputi8:

- Pemantapan UPGK dengan: meningkatkan upaya pemantauan pertumbuhan dan perkembangan balita melalui kelompok dan dasa wisma.

- Penanganan khusus KEP berat secara lintas program dan lintas sektoral.

- Pengembangan sistem rujukan pelayanan gizi di Posyandu dalam rehabilitasi gizi terutama di daerah miskin.

- Peningkatan gerakan sadar pangan dan gizi melalui KIE yang berkesinambungan.

- Peningkatan pemberian ASI secara eksklusif.

- Penanggulangan KEK (Kurang Energi Kronik) pada ibu hamil didasarkan hasil penilaian dengan alat ukur LILA (Lingkar Lengan Atas).

Jadi Upaya penanggulangan masalah KEP pada balita dapat dilakukan guna mencegah dan mengurangi kejadian KEP adalah yaitu :

1. Dengan mengurangi/mengatasi faktor resiko, melalui perawatan kesehatan,
2. Pencegahan infeksi potensial KEP
3. Pemberian ASI eksklusif,
4. Perbaikan sosial ekonomi keluarga,
5. Keluarga berencana,
6. Imunisasi
7. Kerjasama lintas program dan lintas sektor seperti: kesehatan, pertanian, ketenaga kerjaan, pendidikan, kesejahteraan sosial dan kependudukan juga dibutuhkan.
8. Revitalisasi posyandu dengan menggalakkan kegiatan program : penimbangan balita secara rutin, imunisasi, upaya kesehatan ibu dan anak, pelayanan keluarga berencana, upaya perbaikan gizi, pemberian makanan tambahan (PMT) pemulihan, penyuluhan kesehatan akan sangat mendukung.

II. 4 PELAYANAN GIZI BALITA KEP BERAT/GIZI BURUK

Pelayanan Gizi pada anak dengan KEP berat/Gizi buruk di rumah sakit meliputi pelayanan rawat jalan, rawat inap dan pelayanan rujukan.

Pada dasarnya setiap anak yang berobat atau dirujuk ke rumah sakit dilakukan pengukuran berat badan (BB) dan tinggi badan (TB) untuk menentukan status gizinya, selain melihat tanda-tanda klinis dan bila perlu pemeriksaan laboratorium. Penentuan status gizi ini diperkuat dengan menanyakan riwayat makan.

Dari hasil penentuan status gizi maka direncanakan tindakan sebagai berikut1:

1. KEP ringan

Diberikan penyuluhan gizi dan nasehat pemberian makanan di rumah dan pemberian vitamin. Dianjurkan untuk memberikan ASI eksklusif (Bayi <4 bulan) dan terus memberikan ASI sampai 2 tahun. Pada pasien KEP ringan yang dirawat inap untuk penyakit lain, diberikan makanan sesuai dengan penyakitnya dengan tambahan energi sebanyak 20% agar tidak jatuh pada KEP sedang atau berat, serta untuk meningkatkan status gizinya. Selain itu obati penyakit penyerta.

1. KEP sedang

a. Penderita rawat jalan (di RS/Puskesmas): diberikan nasehat pemberian makanan dengan tambahan energi 20-50% dan vitamin serta teruskan ASI bila anak <2 tahun. Pantau kenaikan berat badannya setiap 2 minggu dan obati penyakit penyerta.

b. Penderita rawat inap: diberikan makanan tinggi energi dan protein, secara bertahap sampai dengan energi 20-50% di atas kebutuhan yang dianjurkan (Angka Kecukupan Gizi/AKG) dan diet sesuai dengan penyakitnya, berat badan dipantau setiap hari, selain itu diberi vitamin dan penyuluhan gizi. Setelah penderita sembuh dari penyakitnya, tapi masih menderita KEP ringan atau sedang, rujuk ke puskesmas untuk penanganan masalah gizinya.

1. KEP berat/Gizi buruk

Bilamana ditemukan anak dengan KEP berat/Gizi buruk harus dirawat inap.

BAB III

PENUTUP

III.1 Kesimpulan

Adapun kesimpulan dari makalah ini berdasarkan pembahasan di atas adalah:

1. Faktor penyebab dari KEP pada balita adalah Penyakit Infeksi, dan rendahnya Tingkat Pendapatan Orang Tua, Konsumsi Energi, Perolehan Imunisasi, Konsumsi Protein, Kunjungan Ibu ke Posyandu, hal ini berkaitan dengan pengetahuan ibu.
2. Dampak dari KEP adalah dapat menurunkan mutu fisik dan intelektual serta menurunkan daya tahan tubuh yang berakibat meningkatnya resiko kesakitan dan kematian terutama pada kelompok rentan biologis.
3. Penanggulangan KEP yang dapat dilakukan adalah

- Dengan mengurangi/mengatasi faktor resiko, melalui perawatan kesehatan,

- Pencegahan infeksi potensial KEP

- Pemberian ASI eksklusif,

- Perbaikan sosial ekonomi keluarga,

- Keluarga berencana,

- Imunisasi

- Kerjasama lintas program dan lintas sektor seperti: kesehatan, pertanian, ketenaga kerjaan, pendidikan, kesejahteraan sosial dan kependudukan juga dibutuhkan.

- Revitalisasi posyandu dengan menggalakkan kegiatan program : penimbangan balita secara rutin, imunisasi, upaya kesehatan ibu dan anak, pelayanan keluarga berencana, upaya perbaikan gizi, pemberian makanan tambahan (PMT) pemulihan, penyuluhan kesehatan akan sangat mendukung.

1. Pelayanan Gizi pada balita KEP berat/gizi buruk meliputi pelayanan rawat jalan, rawat inap dan pelayanan rujukan.

III.2 Saran

Adapun saran yang dapat diberikan mengenai KEP ini ke berbagai pihak terkait yaitu:

- Kepada Pemerintah Pusat dan Daerah, diharapkan perbaikan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat segera ditingkatkan melalui kebijakan yang memihak kepada kepentingan masyarakat, utamanya masyarakat miskin.

- Kepada Departemen Sosial, Departemen Pertanian, Departemen Kesehatan, agar kiranya segera bertindak cepat dan tepat dalam mengatasi masalah gizi ini, karena masalah ini perlu komitmen bersama antar lintas sector dipemerintahan pusat dan daerah.

- Kepada masyarakat, agar kiranya menumbuhkan semangat saling membantu dan tolong menolong antar sesame, supaya tidak ada lagi diantara kita yang kelaparan dan menderita gangguan gizi kurang.

- Kepada mahasiswa, diharapkan belajar dengan baik sehingga dapat menjadi pemikir bangsa dalam mengatasi masalah-masalah sentral di Negara ini. Semangat.!

DAFTAR PUSTKA

1. Dr. Sri S. Nasar, SpAK, dkk. 2005. Pedoman Tata Laksana KEP pada

Anak di Rumah Sakit Kabupaten/Kota. Di download dari http://www.gizi.net/pedoman-gizi/pd-kep-kab-kota.shtml

1. Supariasa, I Dewa Nyoman. 2002. Penilaian Status Gizi. Jakarta :

Penerbit Buku Kedokteran EGC.

1. Almatsier, S. 2004. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta : Gramedia

Pustaka Utama

1. Novelia Marizza, FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

TERJADINYA KURANG ENERGI PROTEIN (KEP) PADA BALITA DI URJ RSU Dr. SOETOMO SURABAYA. Di download dari http://ojs.lib.unair.ac.id/index. php/bprsuds/article/view/1439/1438.

1. Zakaria, Veni Hadju, Aminuddin Syam. 2005. FAKTOR-FAKTOR

DETERMINAN KEJADIAN KURANG ENERGI PROTEIN (KEP) PADA ANAK UMUR 6 - 35 BULAN DI KABUPATEN PANGKEP. Di download dari http://jurnalmkmi.blogspot. com/2009/03/faktor-faktor-determinan-kejadian.html

1. Erledis Simanjuntak 2008 .Faktor Resiko Kurang Energi Protein

Pada Balita Di Kota Medan. Di download dari http://library.usu. ac.id/index.php/component/journals/index.php?option=com_journal_review&id=3197&task=view

1. ADMIN. 2004. PROGRAM PERBAIKAN GIZI MAKRO

Di download dari http://www.gizi.net/kebijakangizi/ download/GIZI%20MAKRO.doc.

1. EVAWANY ARITONANG .2004. KURANG ENERGI PROTEIN

(PROTEIN ENERGY MALNUTRITION). Di download dari http://library.usu.ac.id/download/fkm/fkmgizi-evawany.pdf

[about me]

bo and my hero

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Nama saya BOHARI .Saya lahir di Gowa, 8 September 1989.Tetapi sejak kecil saya bersekolah di kota Ujung Pandang sekarang Makassar, Sulawesi Selatan dan kemudian melanjutkan jenjang perguruan tinggi di Program Studi Ilmu Gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin.

Hobi saya adalah membaca, menulis, jalan-jalan ) .Motto hidup saya adalah : “Kesuksesan nyata adalah ketika kita bisa memberikan manfaat untuk diri kita dan orang lain. Terus berkarya, terobos hambatan, dan ciptakan nilai”. Saya selalu ingin bisa memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi orang lain di sekitar saya. Oleh karena itu, saya berharap besar, jika Alloh masih memperkenankan untuk hidup di dunia lebih panjang, maka saya sangat ingin berkontribusi dalam perbaikan bagi bangsa dan masyarakat Indonesia dengan kompetensi yang saya miliki dengan karya nyata.

Bagi sahabat sekalian yang ingin berkenalan dengan saya lebih jauh, bisa menghubungi saya melalui email bhr_bohari@yahoo.com atau bohkasim@yahoo.com atau i_bo@rocketmail.com.

Terima kasih,atas kunjungannya. Salam hangat persahabatan. Dan salam kenal bagi yang baru mengenal saya.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Template by - Abdul Munir