Tuesday, April 28, 2009

Gizi Buruk tak Selalu Tersebab Miskin

Oleh: Bartoven Vivit Irsan (Staf Pengajar Sosiologi FISIP Unila)
Sumber : http://www.lampungpost.com/cetak/cetak.php?id=2006040601312716

Lampung, salah satu provinsi yang memiliki angka gizi buruk tertinggi. Angka kematian karena gizi buruk terus meningkat di Lampung. Yang tertinggi Lampung Timur, Tanggamus, dan Bandar Lampung sendiri. Kematian wanita hamil di Lampung juga meningkat sampai 70%.
Berdasarkan penelitian, para penderita gizi buruk bukan hanya dari masyarakat yang berasal dari kalangan menengah ke bawah atau miskin, tetapi juga dialami masyarakat mampu atau menengah ke atas. Temuan ini mengejutkan. Asumsi kita selama ini gizi buruk identik dengan masyarakat yang tidak punya uang, kelaparan dan minim pengetahuan.
Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa begitu sulit untuk diberantas?
Mungkin, ada yang kita lupakan, yakni program penanggulangan kasus gizi buruk selama ini meminggirkan aspek sosial budaya masyarakat. Program selama hanya memprioritaskan semuanya dari pandangan dan pendekatan kesehatan secara fisik semata. Padahal, masyarakat Lampung yang multietnik dengan berbagai latar kebudayaan perlu mendapat perhatian.
Persoalan makanan bukanlah persoalan tentang kandungan gizi secara medis saja, melainkan persoalan kebudayaan, yakni kepercayaan tentang makanan dan kebiasaan makanan (food habit). Kepercayaan makanan dan kebiasaan makanan bukanlah sesuatu yang mudah diubah.
Sebab, kepercayaan makanan--saya lebih suka menyebutnya dengan "ideologi makanan"--merupakan inti kebudayaan yang sulit untuk berubah (Linton, 1979).
Meskipun masyarakat kota, modern, dan memiliki pengetahuan yang cukup melalui pendidikan, ada aspek-aspek tertentu yang membuat kita tidak bisa lepas dari akar budaya. Makanan berkaitan lingkungan tempat kita tumbuh dari sejak kecil, makanan bersumber dari rumah tangga saat sumber dapur kita berfungsi, dan itu menjadi kebiasaan yang sulit diubah.
Kepercayaan makanan merupakan perilaku yang dibatasi budaya yang merupakan suatu kompleks kegiatan masak-memasak, masalah kesukaan dan ketidaksukaan, kearifan rakyat, kepercayaan-kepercayaan, kebiasaan makan, pantangan-pantangan, takhayul, selera, kenikmatan, dan prioritas makanan yang berkaitan dengan persiapan, produksi, distribusi, dan konsumsi makanan.
Boleh jadi suatu makanan itu dimakan masyarakat bukan karena alasan nutrisi (nutriens) atau zat gizi yang dikandung, tetapi karena selera, kenikmatan, kepercayaan, kebiasaan, pantangan-pantangan, dan sebagainya.
Banyak fungsi sosial budaya makanan bagi masyarakat kita. Bukan sekadar kenyang, melainkan memiliki makna simbolik yang menunjukkan status sosial. Pada pesta perkawinan, makanan adalah menjadi ukuran status sosial seseorang.
Dalam masyarakat multietnik Lampung, makanan memiliki makna bagi tiap masyarakat dan kebudayaan masing-masing. Orang Jawa misalnya menggunakan konsep "nyayur" untuk makanan karena mereka suka sayuran, orang Padang dengan konsep "lauk" karena identik dengan daging-dagingan karena orang Padang belum makan kalau belum makan lauk, orang Lampung suka "nyeruit" karena semangat kebersamaan dalam memakan makanan itu. Semuanya itu merupakan bangunan konsep makanan yang dimiliki setiap kebudayaan yang memiliki makna tersendiri.
Kita harus menyadari struktur sosial dalam keluarga sangat menentukan status gizi laki-laki dan perempuan berdasarkan status dan perannya. Distribusi makanan dalam rumah tangga berkaitan prioritas makanan.
Prioritas makanan menempatkan organisasi sosial (struktur distribusi makanan dalam rumah tangga) menjadi hal yang utama. Distribusi makanan dilihat dari status dan peran (struktur sosial) individu tersebut dalam rumah tangga.
Dalam hal ini menempatkan laki-laki menjadi prioritas utama untuk mendapatkan banyak protein dan kalori. Prioritas makanan dalam masyarakat tertentu membedakan pemberian makanan terhadap laki-laki dan perempuan (Nieves, 1993; Gittelson, 1991; Engle, 1993).
Hal ini menggambarkan kasus gizi buruk ini dipengaruhi kebudayaan atau kebiasaan setempat, apalagi hampir mayoritas masyarakat Indonesia memegang prinsip budaya patriarkat, contohnya prioritas makanan kepada laki-laki dewasa (dalam rumah tangga) dibandingkan dengan wanita dan anak-anak.
Sayang, masalah kasus gizi buruk pada ibu hamil hanya tertumpu pada wanita hamil. Padahal, laki-laki juga ikut bertanggung jawab terhadap kondisi tersebut. Pemerintah, misalnya, tidak melibatkan laki-laki dalam pelatihan dan penyuluhan kesehatan ibu hamil.
Seharusnya, pemerintah melibatkan kaum laki-laki untuk diberikan pemahaman serupa. Padahal proses konsumsi, distribusi, dan produksi makanan di dalam rumah tangga dipengaruhi struktur sosial dalam rumah tangga.
Misalnya, saja setelah diberikan penyuluhan bagi ibu-ibu hamil tentang makanan bergizi, lalu apakah dengan mudah ia merealisasikan di rumah? Soalnya, di rumah tangga ada anggota keluarga lain yang berperan dalam menentukan pilihan dan mengambil keputusan, yaitu sang pencari nafkah. Hal ini tentu akan diperparah lagi kalau keluarga itu berasal dari keluarga yang miskin.
Memberikan penyuluhan dan makanan tambahan mungkin sebuah usaha. Namun, alangkah lebih baiknya juga memperhatikan apa yang dimiliki masyarakat, yakni kearifan lokal yang begitu kuat di masyarakat kita. Barangkali mengakomodasi kearifan lokal dan makanan secara medis adalah jalan terbaik.
Selain itu usaha untuk mencegah gizi buruk tidak harus menunggu berhasilnya pembangunan ekonomi sampai masalah kemiskinan dituntaskan. Program perbaikan gizi dapat dilakukan tanpa harus menunggu rakyat menjadi makmur. Perhatian pada golongan yang berisiko kekurangan asupan zat gizi akan membantu mengurai sulitnya masalah ini.

0 comments:

Template by - Abdul Munir