Tuesday, April 28, 2009

Gizi Buruk merupakan Implementasi Ke”pasif ”an

Oleh: DR. Intje Picauly, S.Pi, M.Si
Sumber : http://www.timorexpress.com/index.php?act=news&nid=24089


Faktor ekonomi sering dituding menjadi penyebab maraknya kasus gizi buruk. Padahal gizi buruk adalah masalah yang bukan hanya disebabkan oleh kemiskinan. Masalah ini kompleks,Kesehatan merupakan investasi untuk mendukung proses pembangunan ekonomi serta memiliki peran penting dalam upaya penanggulangan kemiskinan. Di suatu kelompok masyarakat, anak balita merupakan kelompok yang paling rawan terhadap terjadinya perubahan status kesehatan sebagai akibat dari kekurangan gizi.

Anak yang kurang gizi akan menurun daya tahan tubuhnya, sehingga mudah terkena penyakit infeksi, sebaliknya anak yang menderita penyakit infeksi akan mengalami gangguan nafsu makan dan penyerapan zat-zat gizi sehingga menyebabkan kurang gizi.

Anak yang sering terkena infeksi dan gizi kurang akan mengalami gangguan tumbuh kembang yang akan mempengaruhi tingkat kesehatan, kecerdasan dan produktivitas di masa dewasa. Status gizi buruk adalah bentuk terparah dari proses terjadinya kekurangan gizi.

Berita tentang kasus gizi buruk pada berbagai media menunjukkan bahwa masalah tersebut kembali menyeruak hampir di seluruh provinsi termasuk di ibukota negara, Jakarta. Memang, program perbaikan gizi di Indonesia secara nasional telah dilaksanakan sejak tiga puluh (30) tahun yang lalu. Tetapi upaya ini ternyata belum mampu menanggulangi masalah gizi buruk. Bahkan, masih saja setiap hari kita mendengar pemberitaan mengenai kasus gizi buruk di media massa.

Hal menarik disampaikan oleh Prof. Soekirman, guru besar ilmu Gizi-IPB, dalam salah satu media cetak nasional (09/06/2005) bahwa berbagai program dan proyek telah digelar pemerintah dengan anggaran ratusan miliar rupiah bahkan mungkin triliun dengan berbagai nama menarik, diantaranya program Jaring Pengaman Sosial (JPS), Dana Kompensasi BBM, Bantuan Pangan Raskin (untuk keluarga), dan Makanan Tambahan Balita Kurang Gizi (MPASI) meskipun belum ada bukti efektif tidaknya program dan proyek tersebut karena hal tersebut hanya intervensi sementara atau darurat.

Sedangkan masalah utamanya menurut Prof Mubaryarto adalah masih banyaknya warga masyarakat yang tidak diberdayakan.
Secara global, Suara Pembaruan (29/3/2006) menunjukkan fakta bahwa tingkat prevalensi kekurangan gizi di Indonesia cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Tahun 2003 tercatat ada 17,7 persen, tahun 2004 ada 17,8 persen dan tahun 2005 ada 19,5 persen.

Memang menyedihkan, sebab masalah gizi buruk termasuk busung lapar semestinya dapat dicegah. Propinsi NTT khususnya mempunyai jumlah kasus gizi buruk dari bulan Januari 2005 sampai Desember 2005 sebanyak 13.969 dari jumlah balita di NTT 477.829 anak.

Hasil assessment gizi yang dilakukan Depkes bekerja sama dengan SEAMEO dan WFP bulan Juli-September 2005 menunjukan prevalensi gizi buruk di Propinsi NTT : 13,8%, Sumba Timur : 13,2%, TTS: 18,0%, Kota Kupang : 14,9%, Ende : 8,7 % dan Flores Timur : 8,2%.
Dari 13.969 balita gizi buruk yang ditangani, sebanyak 12.792 balita dilakukan rawat jalan dan pemberian makanan tambahan dan 1.165 balita dirawat di berbagai tempat yaitu Therapeutic Feeding Center (TFC), Puskesmas dan RSUD. Jumlah balita yang dirawat sebanyak 706 balita telah membaik, yang lainnya masih dalam perawatan.

Sedangkan jumlah pasien gizi buruk yang meninggal dunia dari bulan Januari sampai Desember 2005 sebesar 58 balita. Sungguh suatu kenyataan yang sangat menyedihkan, jika kita teringat pada jumlah dana yang telah dialokasikan tidaklah seimbangan dengan harapan yang kita inginkan. Hal ini terlihat pada jumlah pasien yang dapat dipulihkan baru sekitar 10% dari jumlah kasus yang ada (13.969 balita gizi buruk).

Laporan Penanggulangan Masalah Gizi Buruk di Indonesia periode Tahun 2005-2006 menyebutkan bahwa jumlah Dana Dekonsentrasi yang diberikan dari pihak Pemerintah Pusat ke Propinsi NTT sebanyak 76 miliar dan difokuskan hanya untuk perbaikan gizi masyarakat belum mencakup jenis bantuan lainnya.

Namun data dari salah satu media informasi menyatakan bahwa sampai Juni 2008 tercatat korban gizi buruk di NTT kembali merenggut 23 nyawa balita. Selain itu, sekitar 225 kasus gizi buruk diikuti dengan kasus gizi kurang sebesar 1.388 di wilayah Rote Ndao. Bahkan diketahui sekitar 533 balita yang menderita gizi kurang dan gizi buruk sama sekali belum mendapat penanganan apapun.

Sedangkan sampai awal Juni di Kabupaten Ende ditemukan 18 balita menderita gizi buruk
Faktor ekonomi sering dituding menjadi penyebab maraknya kasus gizi buruk. Padahal gizi buruk adalah masalah yang bukan hanya disebabkan oleh kemiskinan. Masalah ini kompleks, tidak hanya dari segi ekonomi atau pun kesehatan saja tetapi dari aspek sosial dan budaya.

Konon di Sambas, 50% balita yang mengidap gizi buruk bukan disebabkan karena kemiskinan melainkan karena budaya makan. Kebanyakan ibu-ibu yang baru melahirkan mengkonsumsin nasi dan ikan kering tetapi tidak sayur karena sayur berkorelasi dengan kemiskinan.

Hal tersebut menunjang hasil surveilans di NTT yang menunjukkan bahwa faktor risiko penyebab gizi buruk adalah faktor sosial budaya dan ketidaktahuan, masalah tidak cukupnya persediaan pangan di rumah tangga, pola asuh kurang memadai, dan sanitasi/kesehatan lingkungan kurang baik serta sangat terkait juga dengan rendahnya tingkat pendidikan, pendapatan dan kemiskinan keluarga, masih tingginya penyakit infeksi, dan lebih diperberat lagi dengan adanya terjadinya kekeringan yang panjang.

Di tengah persoalan ini, kita sadar bahwa masalah gizi buruk bukan semata-mata tanggung jawab Dinas Kesehatan karena sebab masalah ini multi faktor dengan pokok masalah di masyarakat adalah kurangnya pemberdayaan keluarga dan masyarakat serta kurang pemanfaatan sumber daya yang ada di masyarakat.

Salah satu sasaran prioritas yang dipilih dalam strategi utama menggerakkan dan memberdayakan masyarakat untuk hidup sehat adalah menjadikan seluruh keluarga sadar gizi (kadarzi) dan seluruh desa menjadi Desa Siaga. Kadarzi adalah suatu keluarga yang mampu mengenal, mencegah dan mengatasi masalah gizi setiap anggotanya.

Suatu keluarga disebut Kadarzi apabila telah berperilaku gizi yang baik yang dicirikan minimal dengan: 1) menimbang berat badan secara teratur, 2) memberikan Air Susu Ibu (ASI) saja kepada bayi sejak lahir sampai umur 6 bulan (ASI eksklusif), 3) makan beraneka ragam, 4) menggunakan garam beryodium, 5) minum suplemen gizi (Tablet Tambah Darah/TTD, Kapsul Vitamin A dosis tinggi) sesuai anjuran.

Desa Siaga merupakan desa dengan kesiapan sumber daya dan kemampuan untuk mencegah dan mengatasi masalah kesehatan khususnya masalah gizi secara mandiri sehingga tercapai masyarakat yang sehat, peduli dan tanggap.

Persyaratan minimal desa siaga adalah adanya Pos Kesehatan Desa (Poskesdes) sebagai suatu upaya kesehatan bersumber daya masyarakat (UKBM) yang dibentuk di desa/kelurahan meliputi pelayanan pencegahan (preventif), promotif (peningkatan) dan kuratif (pengobatan), sekaligus menjadi koordinator UKBM yang telah ada seperti posyandu, polindes, dana sehat, ambulan desa, tabungan ibu bersalin/tabulin dan lain-lain.

Dengan demikian terlihat bahwa proses penanggulangan gizi buruk merupakan tanggung jawab bersama yang melibatkan masyarakat dan banyak sektor yang terkait dalam pelayanan kesehatan, pendidikan, ekonomi, sosial, budaya, pemberdayaan perempuan dan PKK maupun pertanian yang menyangkut ketersediaan pangan rumah tangga.

Penulis : Pemerhati Gizi NTT

0 comments:

Template by - Abdul Munir