Monday, May 18, 2009

Pola Asuh dan Budaya Pengaruhi Gizi Anak

sumber:http://arsip.pontianakpost.com/berita/index.asp?Berita=Kota&id=107178

Pontianak,- Kasus gizi buruk dan busung lapar di Kalimantan Barat dipengaruhi oleh pola asuh dan budaya yang salah. Banyak orang tua yang terpaksa menitipkan anaknya demi mengadu nasib di negeri orang. Akibatnya, banyak balita tidak mendapatkan kecukupan nutrisi di bawah pengasuhan kakek neneknya. Selain itu, budaya masyarakat yang sering memprioritaskan jatah makan kepala keluarga, membuat anak-anak porsi makannya berkurang. Pernyataan itu disampaikan Kepala Bidang Kesehatan Daerah Dinas Kesehatan Propinsi Kalbar, dr Honggo.

”Kesehatan adalah muara semua masalah. Artinya banyak hal yang mempengaruhinya, jadi tidak bisa dipandang dari satu sisi saja. Demikian halnya dengan gizi buruk dan busung lapar,” jelasnya. Dari pantuan Dinas Kesehatan Kalbar, dia memperoleh kesimpulan rendahnya pemahaman masyarakat terhadap makanan sehat, berpengaruh besar terhadap kasus gizi buruk. Honggo mengambil contoh Kabupaten Sanggau yang memiliki sebaran kasus itu, sebagian besar korbannya memiliki orang tua dengan kesadaran gizi yang rendah. “Balita seringkali cuma diberi kole-kole dan pisang. Padahal itu sangat keliru, di usia itu mereka butuh makanan padat gizi. Kalau cuma dua jenis makanan tersebut, anak akan mengalami kekurangan gizi,” tuturnya. Menurutnya orang tua balita di daerah, sering menganggap enteng makanan anaknya. Mereka berkilah, makanan yang diberikan sudah jadi warisan nenek moyang.

Selain itu, Honggo melihat pengaruh mobilitas penduduk yang bekerja di Malaysia juga punya andil dalam kasus gizi buruk. “Karena orang tua terpaksa jadi TKI, anak diasuh kakek neneknya. Tentu saja dengan keterbatasan ekonomi, sang anak tak dapat nutrisi yang cukup. Kesalahan pola asuh ini, banyak terjadi di wilayah perbatasan,” jelasnya.

Dia juga menyebutkan kesalahan budaya masyarakat berpengaruh pada gizi buruk. Kebiasaan masyarakat yang memandang kepala keluarga sebagai penerima jatah makanan harus dirubah. “Banyak masyarakat mendahulukan kepala keluarga saat makan. Porsi makanan terbanyak disediakan pencari nafkah, padahal harusnya anak-anak. Sebab mereka perlu gizi tinggi selama masa pertumbuhan,” terang Honggo.

Melihat penyebab tersebut, pihaknya mengharapkan kerjasama berbagai pihak untuk memperkecil angka penderita gizi buruk dan busung lapar.”Setiap daerah pasti ada penderitanya. Karena topografi Indonesia, jalur suplai bahan pangan tak bisa selalu lancar. Jadi kalau dihilangkan, sama sekali tak mungkin. Mengingat banyak faktor itu tadi, perlu peran aktif semua lapisan masyarakat,” ujar Honggo. Dia juga mengatakan Dinas Kesehatan Propinsi Kalbar tak akan menutup-nutupi kasus gizi buruk dan busung lapar.(dee)

< Kasus gizi buruk dan busung lapar di Kalimantan Barat dipengaruhi oleh pola asuh dan budaya yang salah. Banyak orang tua yang terpaksa menitipkan anaknya demi mengadu nasib di negeri orang. Akibatnya, banyak balita tidak mendapatkan kecukupan nutrisi di bawah pengasuhan kakek neneknya. Selain itu, budaya masyarakat yang sering memprioritaskan jatah makan kepala keluarga, membuat anak-anak porsi makannya berkurang. Pernyataan itu disampaikan Kepala Bidang Kesehatan Daerah Dinas Kesehatan Propinsi Kalbar, dr Honggo.

”Kesehatan adalah muara semua masalah. Artinya banyak hal yang mempengaruhinya, jadi tidak bisa dipandang dari satu sisi saja. Demikian halnya dengan gizi buruk dan busung lapar,” jelasnya. Dari pantuan Dinas Kesehatan Kalbar, dia memperoleh kesimpulan rendahnya pemahaman masyarakat terhadap makanan sehat, berpengaruh besar terhadap kasus gizi buruk. Honggo mengambil contoh Kabupaten Sanggau yang memiliki sebaran kasus itu, sebagian besar korbannya memiliki orang tua dengan kesadaran gizi yang rendah. “Balita seringkali cuma diberi kole-kole dan pisang. Padahal itu sangat keliru, di usia itu mereka butuh makanan padat gizi. Kalau cuma dua jenis makanan tersebut, anak akan mengalami kekurangan gizi,” tuturnya. Menurutnya orang tua balita di daerah, sering menganggap enteng makanan anaknya. Mereka berkilah, makanan yang diberikan sudah jadi warisan nenek moyang.

Selain itu, Honggo melihat pengaruh mobilitas penduduk yang bekerja di Malaysia juga punya andil dalam kasus gizi buruk. “Karena orang tua terpaksa jadi TKI, anak diasuh kakek neneknya. Tentu saja dengan keterbatasan ekonomi, sang anak tak dapat nutrisi yang cukup. Kesalahan pola asuh ini, banyak terjadi di wilayah perbatasan,” jelasnya.

Dia juga menyebutkan kesalahan budaya masyarakat berpengaruh pada gizi buruk. Kebiasaan masyarakat yang memandang kepala keluarga sebagai penerima jatah makanan harus dirubah. “Banyak masyarakat mendahulukan kepala keluarga saat makan. Porsi makanan terbanyak disediakan pencari nafkah, padahal harusnya anak-anak. Sebab mereka perlu gizi tinggi selama masa pertumbuhan,” terang Honggo.

Melihat penyebab tersebut, pihaknya mengharapkan kerjasama berbagai pihak untuk memperkecil angka penderita gizi buruk dan busung lapar.”Setiap daerah pasti ada penderitanya. Karena topografi Indonesia, jalur suplai bahan pangan tak bisa selalu lancar. Jadi kalau dihilangkan, sama sekali tak mungkin. Mengingat banyak faktor itu tadi, perlu peran aktif semua lapisan masyarakat,” ujar Honggo. Dia juga mengatakan Dinas Kesehatan Propinsi Kalbar tak akan menutup-nutupi kasus gizi buruk dan busung lapar.(dee)

0 comments:

Template by - Abdul Munir