Thursday, May 14, 2009

Perspektif Pangan Masa Depan

Oleh:
Edy Ramly Sitanggang & Burhan J E Marbun
Sumber : http://www.sinarharapan.co.id/berita/0109/26/opi02.html
Dalam pengertian umum ketahanan pangan adalah adanya jaminan bahwa kebutuhan pangan dan gizi setiap penduduk adalah sebagai syarat utama dalam mencapai derajat kesehatan dan kesejahteraan yang tercukupi. Dari pemahaman tersebut, dapat diketahui bahwa ada beberapa hal yang mempengaruhi ketahanan pangan, yakni tersedia atau tidaknya pangan, lapangan pekerjaan dan pendapatan.
Kondisi persediaan yang cukup atau tidak di pasar, berpengaruh pada harga pangan. Bagi keluarga yang tidak bekerja atau berpenghasilan rendah, kenaikan harga pangan dapat mengancam ketahanan pangan rumah tangganya . Jika suatu pembangunan berorientasi pada peningkatan kualitas SDM, maka pengaturan keseimbangan dan keserasian antara sistem pangan, ( produksi, distribusi dan pemasaran) dan kebijakan di bidang sosial yaitu penanggulangan kemiskinan, pendidikan, kesehatan dan gizi dan lain lain haruslah diperhatikan secara serius.
Ketersediaan pangan dalam rumah tangga sangat tergantung pada hasil pertaniannya (bagi yang mengusahakan lahan) dan dari apa yang dibeli di pasar (bagi yang memiliki daya beli). Pembelian jenis-jenis pangan di pasar dipengaruhi oleh pengetahuan rumah tangga dalam hal pangan dan gizi, kebiasaan makan dan nilai-nilai budaya yang dianut rumah tangga. Ini berat walaupun rumah tagga memiliki daya beli yang cukup dan pangan yang juga tersedia, namun bila pengetahuan pangan dan gizinya masih rendah maka akan sulit bagi rumah tangga yang bersangkutan untuk dapat memenuhi kebutuhan rumah tangganya baik secara kuantitas maupaun kualitas.
Konsep ketahanan pangan nasional merupakan jawaban yang tepat untuk memperbaiki kinerja dalam menghasilkan kondisi ideal pangan di masa depan. FAO (1996) mendefinisikan ketahanan pangan sebagai situasi dimana setiap orang pada setiap saat secara fisik dan ekonomis memiliki akses pangan yang cukup, aman dan bergizi untuk untuk dapat memenuhi kebutuhannya sesuai dengan seleranya bagi kehidupan yang aktif dan sehat.
Ada tiga kunci indikator keberhasilan ketahanan pangan yakni : ketersediaan Pangan, jangkauan pangan, kehandalan dan ketersediaan maupun jangkauan pangan tersebut. Oleh karena itu kebijakan penyediaan pangan dalam rangka pemantapan ketahanan pangan nasional haruslah meliputi 2 bidang dan dilaksanakan dengan paduan harmonis yakni : Pengadaan pangan nasional dan distribusi pangan nasional (penyediaan pangan ditingkat rumah tangga.). secara keseluruhan, ketahanan pangan tersebut mencakup tiga dimensi yang saling terkait satu sama lain dan harus dipenuhi secara komfrehensif yakni: dimensi produksi, dimensi konsumsi dan dimensi distribusi.
Sistem penyediaan pangan haruslah memenuhi lima karakteristik dasar: kapasitas, yakni kemampuan menghasilkan, mengimpor dan menyimpan makanan pokok dalam jumlah yang cukup guna memenuhi kebutuhan semua penduduk; pemerataan, yakni kemampuan menjamin dan mendistribusikan makanan pokok sehingga tersedia dalam rumah tangga; kemandirian; yakni kemampuan menjamin kebutuhan ketersediaan makanan pokok dengan mengandalkan kekuatan sendiri, sehingga ancaman fluktuasi pasar dan tekanan politik internasional dapat ditekan seminimal mungkin; kehandalan, yakni kemampuan meredam dampak variasi musiman siklus tanaman sehingga kecukupan ketersediaan pangan dapat terjamin setiap saat; keberlanjutan, yakni kemampuan menjaga keberlanjutan kecukupan ketersediaan pangan dalam jangka panjang tanpa merusak lingkungan hidup.
Secara teoritis ada dua macam ancaman ketahanan pangan yaitu ancaman kronis dan ancaman peralihan. Dalam prakteknya keduanya saling tumpang tindih. Ancaman ketahanan pangan kronis adalah keadaan kekurangan pangan yang terus-menerus akibat kurang adanya akses terhadap pangan, baik melalui pasar maupun keadaan produksi itu sendiri. Hal ini meimpa orang-orang miskin yang berdaya beli rendah. Ancaman ketahanan pangan peralihan adalah kekurangan pangan akibat gejolak sementara yang membuat akses pangan terganggu, misalnnya karena kenaikan harga, bencana yang menimbulkan kesulitan pangan, penurunan produksi dan stok pangan.
PBB yang dalam berbagai lembaganya selalu memonitor ketahanan pangan di berbagai negara. Meskipun di awal-awal pembangunan jangka panjang (PJP) I beberapa daerah di Jawa dan Indonesia bagian timur sering mengalami ancaman ketahanan pangan, namun daftar yang disusun IFPRI (International Food Policy Research Institute) di Washington DC 1970-1991, menunjukan bahwa Indonesia tidak termasuk yang berat tingkat ancaman ketahanan pangannya.
Dari sudut tingkat konsumsi kalori (1972-1983), yakni sebelum swasembada, Indonesia termasuk yang rendah tingkat fluktuasi ketahanan pangannya tinggi dan tingkat konsumsi kalori rata-rata rendah. Keadaan ini berubah lebih baik sejak 1983. Indikator ancaman ketahanan pangan menrut IFPRI antara lain adalah rumah tangga dengan anak yang banyak, rumah tangga yang mengutamakan makanan pokok sumber energi dari pada makanan lainnya sehingga mereka rawan terhadap kekurangan gizi mikro, dan rumah tangga yang tinggal di desa terpencil atau belum terjamah pembangunan.
Keadaan ketidaktahanan pangan rumah tangga dapat dicerminkan dari buruknya status gizi anggota rumah tangganya. Anak Balita yang kekurangan gizi dengan mudah bisa dilihat dari berat badannya yang tidak sesuai dengan standart umurnya. Status gizi kurang bila diperburuk oleh kesehatan lingkungan rumah tangga yang kurang memadai, dapat meningkatkan angka kesakitan akibat infeksi. Situasi ketidak tahanan pangan rumah tangga juga dapat ditandai oleh adanya perubahan-perubahan sosial seperti semakin banyaknya anggota masyarakat yang menggadaikan barangnya, bertambahnya rumah tangga yang pergi keluar daerahnya untuk mencari pekerjaan dan lain-lain.
Tercukupnya konsumsi pangan merupakan syarat mutlak terwujudnya ketahanan pangan rumah tangga. Ketidaktahanan pangan rumah dapat digambarkan dari perubahan konsumsi pangan yang mengarah kepada penurunan kuantitas dan kualitas termasuk perubahan frekuensi konsumsi makanan pokok. Angka riil kuantitas pangan harus dibandingkan dengan angka kecukupan gizi yang dianjurkan untuk mengetahui cukup tidaknya gizi.
Selain konsumsi pangan, informasi mengenai status ekonomi, sosial dan demografi seperti pendapatan, pendidikan, struktur anggota keluarga, pengeluaran pangan dan sebagainya dapat digunakan sebagai indikator resiko terhadap ketidaktahanan pangan rumah tangga. Ketahanan pangan sifatnya multi dimensi sehingga indikatornya juga banyak. Ketahanan pangan nasional dapat diketahui dari jumlah pangan yang tersedia dan jumlah yang dibutuhkan, hal ini dapat di pantau melalui Neraca Bahan Makanan. Sedangkan untuk mengetahui ketahanan pangan dapat dilakukan Pengukuran Pola Pangan Harapan (PPH).
PPH ditetapkan dengan berpatokan pada syarat kecukupan gizi, adanya konsumsi keanekaragaman pangan dan kontribusi masing-masing bahan pangan. Skor PPH ditentukan dengan melihat bobot kontribusi energi dari bahan pangan. Pada tahun 1993, diketahui skor PPH adalah 72,1. Diakhir Pelita X (Tahun 2018) diharapkan skor tersebut mencapai 93,0 (sokr maksimal 100). Swasembada adalah aspek lain yang memiliki pengaruh terhadap pemeliharaan ketahanan pangan. Swasembada merupakan upaya untuk memenuhi ketersediaan pangan secara cukup dengan bertumpu pada pemanfaatan sumber daya dalam negeri/setempat secara maksimal. Secara nasional maupun daerah, kita memiliki sumber daya alam, manusia dan teknologi yang harus diinventarisasikan dan dikaji kemampuannya untuk menghasilkan pangan yang diperlukan oleh seluruh penduduk dalam memenuhi konsumsinya.
Apabila dengan pemanfaatan sumber daya yang sudah maksimal ternyata tidak cukup, maka tidak ada alternatif lain kecuali mendatangkan dari negara lain (impor). Namun demikian impor tersebut harus tetap dilihat sebagai lengkap.
Bagaimanapun juga swasembada pangan secara absolut dalam arti memenuhi kebutuhan pangan sesuai dengan Pola Pangan Harapan (PPH) dari produksi dalam negeri sendiri adalah sulit. Dalam era globalisasi, yang kita kembangkan adalah konsep kemandirian pangan yang mengandung arti kemampuan untuk menyediakan pangan dari dalam negeri dan kemampuan mengimpornya kalau diperlukan. Ketersediaan pangan di sektor makro tidak selalu menjamin tiada masalah pada level mikro, yaitu rumah tangga . Kesenjangan distribusi pangan di tingkat rumah tangga, meski ketersediaan mencukupi, dapat berdampak buruk pada anggota-anggota keluarga yang rawan gizi (anak balita, wanita hamil dan menyusui).
Faktor-faktor sosial budaya pada dasarnya ikut mempengaruhi distribusi pangan dalam rumah tangga. Adanya dominasi dalam rumah tangga sehubungan dengan gender dan umur, sangat menentukan pembagian makanan dalam rumah tangga. Menurut beberapa peneliti, ketimpangan distribusi pangan di antara laki-laki dan perempuan di negara-negara sedang berkembang erat kaitannya dengan kebiasaan makan yang sudah menjadi tradisi. Meski para istri menjadi distributor pangan dalam rumah tangganya, namun kadang-kadang yang didahulukan makanannya adalah suami, anak laki-laki baru kemudian anak perempuan dan istri.
Upaya memperbaiki distribusi pangan dalam rumah tangga dapat dilakukan dengan meningkatkan kesadaran gizi. Sasaran penyadaran gizi seharusnya tidak hanya ditujukan kepada kaum ibu, tetapi tak kalah pentingnya juga kaum ayah. Dengan demikian, mereka mengetahui betapa pentingnya konsumsi pangan yang cukup bagi seluruh anggota keluarga, terutama anak-anak Balita yang sedang dalam masa pertumbuhan. Jadi pada hakekatnya ketahanan pangan tidak bisa dilepaskan dari pengertian ketahanan gizi, karena dampak pangan yang kita konsumsi termanifestasikan dalam bentuk status gizi seluruh anggota rumah tangga.

0 comments:

Template by - Abdul Munir